Oleh : Sriyanto Ahmad Pimpinan
Redaksi Trankonmasi.
Dalam edisi advertorial kali ini redaksi menyoroti tentang harga BBM yang masih hangat-hangatnya diperbincangkan masyarakat , karena dampaknya yang menerobos semua lini kehidupan .
Pemerintahan
Jokowi bagaikan makan buah simalakama yang artinya dihadapkan pada pilihan yang sangat pahit,
dimana dengan memutuskan kenaikaan harga BBM akan terjadi lonjakan inflasi dan kurangnya daya beli masyarakat. kalau tidak
dinaikan, mengakibatkan APBN mengalami defisit
angggaran atau anjlok karena beban subsidi, kalau dinaikkan akan terjadi gejolak masyarakat
atau konsumen yang bisa untuk melakukan
demo akibat kenaikkan BBM yang meningkatkan angka penganggugaran.
Dan prediksi
redaksi trankomasi benar terjadi penolakan
yang sangat serius, terutama mahasisa Demo kenaikan BBM masih dan akan masih
terus mereka lakukan. Ada yang murni, tapi pasti ada juga karena hal lain yang
bahkan kadang tak terkait sama sekali pada masalah pokok tersebut. Mereka yang
menuntut Jokowi mundur misalnya, itu sudah politis. Itu pasti dilakukan oleh
mereka yang tak terkait langsung atau paling tidak oleh mereka yang terimbas
langsung pada kenaikan harga BBM. Bisa ditebak dengan mudah bahwa para orator, para
orang yang merasa dirinya terpanggil, mereka yang tampak garang berdiri di
mobil komando itu pasti mobilnya banyak. Paling tidak, mereka pasti bermobil
dan kini memang ikut terimbas. Namun sekali lagi, mereka jelas bukan objek
terkena langsung dampak atas kenaikan BBM ini, mereka hanya ikutan dan kadang
sengaja merasa kegè-èran mewakili rasa sama menderita rakyat banyak. Sejatinya,
mereka justru hanya nebeng pada kisah itu dan maka tak berlebihan bila mereka
hanya benalu belaka.
Mau dihitung
dari sisi manapun, harga kekinian BBM itu memang sudah melambung naik terlalu
tinggi dan bila subsidi terlalu besar diberikan itu pasti berdampak pada banyak
hal dan pada akhirnya kembali rakyat kecil dan bukan bagian dari pemilik akses
hanya akan jadi korban lagi karena harga minyak mentah dunia meroket tetapi
justru saat harga naik harga minyak mentah dunia menurun, itu yang
menjadi pertanyaan dasar lapisan
masyarakat.
Pertanyaannya
adalah sudahkan kenaikan BBM ini sudah
melalui kajian yang mendalam atau hanya
sekedar menutup lubang APBN untuk
melakukan perlindungan nilai ketika harga
minyak mentah dunia naik kembali.
Kenaikan harga
BBM kalau bisa jangan hanya menjadi
sebuah, “RETORIKA” tetapi sebuah , “ SOLUSI “ agar terjaga dan untuk melindungi BBM
dari tangan – tangan jahil yang
selalu menguras BBM subsidi demi diri sendiri. Disparitas harga yanag
berlaku jelas berita baik bagi para pemilik bakat sekaligus tukang selundup yang
kelak selalu akan mencari cara untuk bekerjasama dengan pengelola stasiun
pengisian BBM itu untuk melakukan perbuatan tercela. Itu hanya salah satu
potensi negatif atas selisih yang terlalu tinggi antara harga subsidi dan harga
pasar. Yang lain banyak, dan tetap saja rakyat yang tak memiliki akses lah yang
sekali lagi akan dirugikan. Dan maka ketika pemerintah berani mengambil
inisiatif menaikan meski akan ditentang habis-habisan, itu justru tindakan
bijak. Namun, di sana harus hadir sisa kebijakan yang HARUS tetap berpihak pada
rakyat kecil. Bantuan langsung dan bersyarat tak boleh nyasar kepada mereka
yang tak berhak, dan hanya bersifat
isidentil, dan pemerintah harus mencari
terobosan untuk menutup cekung subsidi BBM tersebut tanpa harus
mengorbankan Rakyat , dan menutubp
anggaran para elit ini jelas , “ IRONI” dan bukan , “
PRESTASI”
"Bisa
gak pemerintah menjamin itu?"
Ketika kita
bicara daya beli rakyat yang turun, kita bicara inflasi. Karena BBM adalah
kebutuhan vital, setiap sen kenaikan harga barang itu pasti berdampak pada
banyak komoditas yang lain. Dan maka, pemerintah melalui Menteri Keuangan
mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK Nomor 134/PMK.07/22 tentang
penanganan dampak inflasi melalui belanja wajib Perlinsos sebesar 2% DTU.
Apa itu?
Dalam rangka
penanganan dampak inflasi, pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan
mewajibkan Pemerintah Daerah menganggarkan belanja wajib perlindungan sosial.
Konon belanja wajib perlindungan sosial digunakan untuk pelaksanaan pemberian
bantuan sosial. Ini sebetulnya sudah tidak relevan lagi Ketika yang menjadi
persoalan utama adalah persoalan BBM, maka yang harus diperhatikan adalah sektor UMKM, tranportasi, ojek dan
nelayan, penciptaan lapangan kerja dan
pemberian subsidi sektor transportasi angkutan umum sebagai prioritas utama .
Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah anggarannya dari mana ?"
Belanja
wajib perlindungan sosial itu dianggarkan sebesar 2% dari Dana Transfer Umum
(DTU) jelas tidak imbang dengan nilai inflasi seandainya tidak mencukupi semua sektor
terdampak tetapi bagaimana cara membaginya agar benar-benar sampai pada objek penerima manfaat.
KPM atau kelompok masyarakat yang memang terdata
sebagai objek bantuan pemerintah. Mereka adalah masyarakat rentan dan maka
layak sebagai penerima Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) alias bantuan Program
Sembako dan BLT yang langsung
diterima manfaatnya langsung oleh
masyarakat.
Masyarakat penerima
subsidi BBM bukan pemilik kendaran banyak seperti para pengusaha dan birokrat yang jelas hanya masyarakat biasa yang ketika
posisinya rentan secara ekonomi harus negara lindungi dan embel-embel politis
apalagi ala para legislator progam atau solusi pencitraan dan dikelilingi media
pendamping yang siap lakukan penyeimbang ketika terjadi gejolak dalam masyarakat.
Maka dalam advertorial kali ini berharap seharunya pemerintah
melakukan terobosan pendapatan sektor lain
yang bisa menutup anggaran di sektor
yang telah baku yaitu pengeluaran
anggaran pembelian BBM.