Jepara, lpktrankonmasi.com
Di era globalisasi ini listrik sudah menjadi kebutuhan
pokok. Karena tanpa adanya listrik berbagai kegiatan akan terhenti. Namun
dengan adanya PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang ada di Legon Bajak,
Desa Kemojan,
Kecamatan Karimunjawa yang diresmikan
pada tanggal 30 Mei 2016 oleh
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Direktur Bisnis Regional PLN Jawa Bagian Tengah
Nasri Sebayang, General Manager PLN Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta,
Dwi Kusnanto, Kapolda Jateng Irjen Pol. Condrokirono dan Komandan Korem Jepara yang dihadiri pula oleh operasional PLTD wilayah setempat, membawa dampak lingkungan dan sosial bagi masyarakat
setempat.
Dari penelusuran awak media bersama DPD
Kawali Jepara yang konsen mengkaji dampak-dampak lingkungan, proses
pengoperasian PLTD masih ada dampak besar yang belum teratasi sampai sekarang yakni pencemaran suara yaitu timbulnya kebisingan yang
diakibatkan dari suara mesin diesel.
Hal tersebut sangat jelas terasa ketika
tim media dan Kawali sampai di lingkungan
sekitar PLTD, seperti salah satunya yang dipaparkan oleh bapak Muhid 52 th,
Desa Kemujan Dusun Telogo RT 002 RW 003 yang rumahnya tepat disebelah selatan
PLTD.
“Saya tinggal dikampung ini sudah 16
tahun jauh sebelum adanya PLTD tersebut dibangun, tapi mereka membangun tanpa
memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan langsung kepada kami, dari
pihak PLTD hanya memberikan subsidi 300rb per tahun untuk biaya pendidikan
anak-anak “ ujarnya.
Pernyataan
tersebut dibenarkan Rahmawati istri dari bapak Muhid, bahwa sejak dibangunnya
PLTD Legon Bajak di Telaga Kemujan keluarganya terkena dampak suara bising dan
polusi yang ditimbulkan.
“
Padahal di lingkungannya juga terdapat
orang tua usia lanjut dan bayi yang tentunya rentan akan kebisingan dan polusi
udaranya, sampai saat ini kami belum mendapat jaminan kesehatan dari pihak PLTD”,
ucap Rahmawati.
Selain dampak lingkungan yang
ditimbulkannya tersebut, ternyata dengan dibangunnya PLTD Legon Bajak
Karimunjawa juga menimbulkan dampak sosial, hal itu disampaikan oleh Bambang
Zakaria sebagai BPD Desa Kemujan.
Dalam penjelasannya, Bambang Zakaria
atau yang familiar dipanggil Bang Zak menuturkan, “ Bahwa
PLTD Legon Bajak dibangun dengan menutup akses jalan kampung yang sudah sejak
lama ada dan merupakan akses utama ke jalan utama bagi 6 kepala keluarga yang
tinggal di wilayah tersebut, sehingga secara otomatis 6 KK tersebut terisolir
akses jalannya dengan adanya bangunan PLTD. Akhirnya warga dengan swadaya
membuat jalan setapak dengan sedikit mereklamasi pantai, yang sampai sekarang
tidak ada kepedulian dari PLTD PLN TJB tentang permasalahan, terang Bang Zak
dengan sedikit geram”.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Kawali
Jepara Tri Hutomo yang turun langsung bersama media untuk observasi
permasalahan lingkungan yang ada di Karimunjawa membarikan tanggapannya,
terkait dampak lingkungan dan sosial dari adanya bangunan PLTD Karimunjawa.Bahwa
memang beberapa penelitian melaporkan bahwa operasional PLTD
umumnya menimbulkan bising di permukiman dan menyebabkan keluhan masyarakat,
apalagi dibangun di permukiman, tingginya kebisingan ini dipengaruhi oleh jarak
rumah dengan sumber bising dan konstruksi rumah yang tidak dapat mereduksi suara bising. Peningkatan kebisingan PLTD tersebut
disertai dengan munculnya keluhan masyarakat terutama gangguan komunikasi,
gangguan fisiologis dan gangguan psikologis.
Sementara menurut Tri Kawali, gangguan
kebisingan sendiri dibagi dalam dua kategori, yaitu berupa gangguan auditory
yaitu gangguan terhadap pendengaran dan gangguan non auditory yaitu gangguan
saat berkomunikasi dan menurunnya semangat kerja akibat kelelahan dan stress
bisa juga terjadi. Selain dampak kebisingan dan polusi yang terus menerus akan
berdampak tidak baik terhadap psikis warga terdampak, apalagi didapatkan usia
anak-anak balita dan usia lanjut usia yang rentan dengan gangguan kesehatan.
Hal ini harus menjadi perhatian serius
bagi pemangku-pemangku kebijakan dari Desa sampai Pemerintah Pusat, bahwa
hak-hak untuk mendapatkan kesehatan, hak untuk hidup nyaman dan ketenangan, hak
lepas dari rasa takut dan kecemasan juga merupakan hak asasi manusia tidak
terkecualikan. Termasuk 6 kepala keluarga warga Desa Kemujan Dusun Telaga harus
mendapatkan hak yang sama dengan warga lain, jangan sampai dengan dalih untuk
kepentingan umum tapi hak-hak hidup mereka sebagai warga negara menjadi terabaikan,
bahkan akses jalan mereka telah ditutup oleh bangunan Indonesia Power PLTD
Legon Bajak PT. Indonesia Power UB. Semarang Sub Unit Karimunjawa yang mepet
perairan pantai adalah tidak dibenarkan menurut Undang-undang tata ruang
sempadan pantai.
Tentu saja fenomena ini telah melunturkan fungsi sosial dari
laut sebagai aset yang merupakan milik seluruh manusia. Kawasan pantai
merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan, baik perubahan akibat
ulah manusia maupun perubahan alam. Desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan
wilayah pantai yang seharusnya menjadi wilayah penyangga daratan menjadi tidak
dapat mempertahankan fungsinya sehingga kerusakan lingkungan pesisir pun
terjadi. Untuk mencegah terjadinya kerusakan pantai lebih jauh, diperlukan adanya
kawasan sempadan pantai. Kawasan ini berfungsi untuk mencegah terjadinya abrasi
pantai dan melindungi pantai dari kegiatan yang dapat mengganggu/merusak fungsi
dan kelestarian kawasan pantai. Garis sempadan pantai ditentukan berdasarkan
bentuk dan jenis pantai daerah yang bersangkutan. Penetapan garis sempadan
pantai harus ditindaklanjuti dengan penegakan hukum (law enforcement) sehingga dapat bersifat tegas terhadap
pelanggaran yang terjadi, untuk semua pihak tanpa kecuali.
Kondisi tersebut memberikan dampak terhadap kelestarian lingkungan pantai dan kehidupan nelayan tradisional. nelayan kecil atau tradisional merasa diabaikan hak-haknya, karena adanya bangunan-bangunan tersebut di sepanjang pantai telah jelas akan menutup akses nelayan kecil atau tradisional terhadap ruang laut. Mereka akan kesulitan mendapatkan tempat untuk merapatkan perahunya. Padahal nelayan tradisional yang merupakan komunitas terbesar masyarakat pantai yang pada akhirnya akan menjadi komunitas yang paling dirugikan dalam kasus seperti ini. Disamping itu dampak kerusakan lingkungan pantai dan pesisir yang cukup parah akan menghilangkan fishing ground dan mempengaruhi kehidupan nelayan tradisional di daerah tersebut yang akhirnya memerparah kemiskinan nelayan.
Fenomena banyaknya bangunan-bangunan di
sepanjang pantai dan kerusakan lingkungan pantai serta kepentingan nelayan
tradisional yang termarjinalkan harus segera mendapat perhatian sekaligus
penangan serius. Untuk mencegah terjadinya kerusakan pantai lebih jauh,
diperlukan adanya kawasan sempadan pantai. Daerah yang disebut sebagai sempadan
pantai tersebut harus dijadikan daerah konservasi. Dalam ketentuan Keppres No.
32 Tahun 1990, diatur perlindungan sempadan pantai sejauh 100 meter. Peraturan
yang telah ada tersebut, hendaknya ditaati, ditegakkan, dan ditindaklajuti
dengan aturan-aturan pelaksana dibawahnya baik di tingkat pusat maupun daerah.
(J Trankonmasi Tim)