Magelang,
lpktrankonmasi.com
Berbagai upaya ditempuh
dalam kasus hukum antara Pemkab Magelang dengan Perwakilan Paguyuban Plaza Muntilan,
baik secara peradilan maupun jalur
musyawarah (Litigasi dan Non Litigasi ). Namun usaha ini nampaknya masih
menemui jalan buntu, belum ada kesepakatan antara kedua belah pihak yakni
antara Pemkab Magelang dan warga Plaza Muntilan.
Terkait dengan isu-isu
kasus Warga Plaza Muntilan dengan Pemkab Magelang beberapa awak media menjumpai
Ahmad Suroso selaku Perwakilan Paguyuban Plaza Muntilan serta kuasa hukumnya
M.Hassan Latief, SH, MH secara terpisah.
Ahmad Suroso
membenarkan adanya isu-isu yang beredar di masyarakat bahwa saat ini belum ada
kejelasan terkait permohonan pengajuan perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan.
Ahmad Suroso Perwakilan
Paguyuban Plaza Muntilan bersama dengan kuasa hukumnya, M. Hassan Latief, S.H,
M.H & Associates menyambangi Kasatpol PP guna mencari solusi dengan mediasi
atas surat teguran dari Satpol PP dan Penanggulangan Kebakaran Kabupaten
Magelang. Senin (24/5/2021).
Dalam pertemuannya
dengan awak media Hassan Latif menyampaikan, bahwa Kasatpol PP tidak berada di
tempat hanya bertemu stafnya saja.
“Kami sudah ke kantor
Satpol PP untuk menemui Kasatpol PP namun beliau tidak berada ditempat. Kami hanya
bertemu dengan stafnya,”kata Latief.
Lebih lanjut Latief
menjelaskan tentang isi surat teguran dari Satpol PP dan Penanggulangan
Kebakaran Kabupaten Magelang.
“Surat teguran tersebut
intinya agar warga Plaza Muntilan segera mengajukan permohonan sewa kepada
Bupati,”jelas Latief.
“Harga sewa tersebut
sudah dipatok Bupati dengan tarif yang tinggi dengan tanpa didasari harga yang
standar, ” lanjut Latief.
“Apalagi saat ini masih
dalam masa Pandemi Covid-19, yang jelas-jelas klien kami juga terkena
dampaknya,”terangnya.
Latief juga
menyampaikan tujuannya menyambangi Satpol PP adalah untuk musyawarah dengan
Bupati Magelang .
“Tujuan kami menemui
Satpol PP adalah untuk musyawarah,”ucap Latief.
“Melalui surat nomor
06/KP.KH-/MHL/SP/I/2021 tertanggal 21 Januari 2021 yang ditembuskan kepada
Ombudsman Perwakilan Jawa Tengah, yang inti surat tersebut adalah untuk
musyawarah,”lanjut Latief.
Saat ditanya tentang
jawaban surat dari Ombudsman Latief menjelaskan, untuk menunggu
jawaban/penjelasan dan / atau penanganan yang patut dari Bupati.
“Dengan melalui surat
nomor B/036/PV.01-14/1100.2021/II/2021yang berisikan agar kami menunggu
jawaban/penjelasan dan / atau penanganan yang patut dari Bupati,” jelas Latief.
“Namun hingga saat ini
belum ada tanggapan apapun dari Bupati. Bahkan yang muncul surat dari Satpol PP
untuk membuat perjanjian sewa dan biayanya telah ditentukan Pemkab tanpa adanya
musyawarah,”lanjutnya.
Latief juga
mengungkapkan bahwa telah dijadwalkan untuk bermusyawarah kembali pada tanggal
28 Mei 2021. Namun pada tanggal 24 Mei 2021 Satpol PP melayangkan surat kedua,
yang mana seharusnya surat tidak dilayangkan karena telah dijadwalkan untuk
musyawarah kembali pada 28 Mei 2021.
“Pada 27 Mei 2021
kembali Satpol PP melayangkan surat ketiga dengan kedatangan Satpol PP dengan
jumlah besar yang diduga melakukan tindakan intimidasi terhadap warga Plaza
Muntilan,”
Dalam kesempatan tersebut
Latief menyampaikan bahwa sebelumnya dari pihak kliennya telah mengajukan
Permohonan Pengajuan HGB tetapi ditolak oleh BPN dengan alasan harus ada
rekomendasi dari Bupati Magelang.
“Bahkan warga Plaza Muntilan diundang ke BPKAD
guna bermusyawarah agar ada titik temu. Mereka masing-masing diundang di
ruangan yang berbeda-beda. Dalam pertemuan tersebut diduga terjadi penekanan,
dimana warga diminta untuk menyewa dengan biaya yang sangat memberatkan dan
dilakukan tanpa adanya musyawarah terlebih dahulu,”ungkap Latief.
“Hal ini sangat
bertolak belakang dengan apa yang menjadi harapan warga Plaza Muntilan. Mereka
berharap adanya titik terang tentang perpanjangan SHGB dan SHMSRS, bukan
tentang sewa,” lanjut Latief.
Lebih lanjut Latief
menjelaskan, bahwa warga diminta untuk mengosongkan obyek Plaza Muntilan.
“Bahkan diduga BPKAD
memaksa warga untuk mengosongkan obyek Plaza Muntilan,”jelas Latief.
Salah satu warga Plaza
Muntilan yang berhasil ditemui awak media menyampaikan, bertepatan dengan
undangan tersebut warga Plaza Muntilan bertemu dengan Kepala BPKAD menanyakan
tentang perpanjangan SHGB dan SHMSRS.
“Yang dijawab Kepala
BPKAD sambil meninggalkan kami untuk
menanyakannya kepada BPN,”kata warga tersebut.
Panjang lebar Latief
menjelaskan kepada awak media tentang adanya perbedaan perlakuan terhadap salah satu Pemohon HGB Plaza Muntilan yang
sudah terbit Sertifikat HGB.
“Ya, memang ada salah satu pemohon HGB Plaza
Muntilan yang sudah terbit Sertifikat HGB nya. Pada saat kami konfirmasi ke BPN
dijawab bila persyaratannya telah lengkap,” tuturnya.
“Bahwa dengan
perpanjangan SHGB No. 00467 atas nama PT. Bank Rakyat Indonesia perlu ditinjau
ulang, karena ini jelas-jelas ada dugaan perlakuan diskriminatif,” lanjut
Latief.
“Dalam putusan di PTUN
Semarang Nomor 79/G/2020/PTUN.Smg tertanggal 22 Januari 2021sama sekali tidak
membahas SHGB Nomor 00467 atas nama PT. Bank Rakyat Indonesia yang berhasil
diperpanjang jangka waktunya hingga 14 Agustus 2035dan telah terbit pula SHGB
nya tanpa ada embel-embel HPL,” tegas Latief.
Diakhiri wawancara
dengan media Latief menyampaikan,“Bahwa sertifikat tersebut adalah sah produk
dari Negara atau tidak ada alasan bagi Bupati Magelang untuk menunda atau
menolak maupun merekomendasikan hal-hal diluar UUPA No 5 Tahun 1960 Pasal 35
ayat (1). Oleh karenanya tidak ada kata lain selain perpanjangan HGB (Hak Guna
Bangunan) dan HMSRS (Hak Milik Satuan Rumah Susun) murni tersebut dikabulkan.
Tindakan Bupati yang tidak memberikan rekomendasi perpanjangan dan tidak
memproses penerbitan perpanjangan atau pembaharuan HGB da SHMSRS milik Warga
PlazaMuntilan bertentangan dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 Pasal 35 ayat (1),
penolakan atas permohonan rekomendasi perpanjangan SHGB dan SHMSRS ini adalah
bentuk Pejabat Tata Usaha Negara yang menggunakan kewenangan yang menyimpang
dari maksud dan tujuan pemberian kewenangan. Apalagi dasar penolakannya dari HGB
di atas tanah HPL, maka Bupati Magelang bisa menunda atau meneliti kembali
rekomendasi perpanjangan SHGB dan SHMSRS pada Bupati Magelang atas permintaan
atau saran dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Magelang dengan alasan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Bab III pada bagian ke-IV
Pasal 26 ayat 2 yang mana untuk perpanjangan sertifikat tersebut harus mendapat
persetujuan dari Bupati Magelang.”
Foto : Sriyanto Ahmad,
Ketua Umum LPK TRANKONMASI
Dalam kasus ini awak
media juga menjumpai lembaga perlindungan
konsumen TRANKONMASI yang membidangi hal-hal yang berhubungan dengan konsumen karena masyarakat yang menempati Ruko Plaza Muntilan juga sebagai konsumen rumah
susun yang perlu mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum (equality Before The Law ).
Sriyanto Ahmad, S.Pd,
MH (Med) selaku ketua umum Lembaga Perlindungan Konsumen TRANKONMASI saat ditanya hal Plaza
Muntilan .
Dalam wawancaranya Sri
Ahmad demikian panggilan akrab ketua LPK TRANKONMASI menjelaskan sehubungan dengan
pernyataan Hassan Latief.
“Bahwa dengan adanya Kenaikan
tarif sewa oleh Pemkab Magelang yang
diwakili oleh BPPKAD tanpa konfirmasi kepada
Calon Penyewa dan belum adanya
kesepekatan adalah hal tidak seharusnya
dilakukan oleh penyelenggara Negara Pemerintah karena penyelenggara pemerintah harus melayanai dan
memberi penjelasan secara jelas dan
mudah dipahami oleh calon penyewa dan berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang
Besarnya biaya tarif Rumah susun dan lebih
lanjut yang dipertanyaka olleh warga yang menempati Plaza Muntilan adalah adalah
perlakuan diskriminatif Pemkab Magelang
dalam Memberikan Rekomendasi Perpanjangan SHGB Plaza Muntilan yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Surat Teguran hal ini dapat diduga adanya tindakan mal
administrasi dalam hal perlakuan diskriminatif atara sesama warga Plaza Muntilan ,”kata Sri Ahmad.
“Permohonan dari warga
Plaza Muntilan ini sudah seyogyanya ditindaklanjuti oleh pemerintah dan
pemerintah seharusnya mendorong penyelenggaraan Negara dalam rangka menciptakan
pemerintah yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme agar tercipta pemerintahan yang bersih dan
berwibawa,”jelasnya.
“Kewajiban negara dan
pemerintah adalah menyelenggarakan proses pelayanan publik yang
efektif dan efesien tak luput dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)
diantaranya adalah kemanfaatan, ketidak berpihakan, tidak menyalahgunakan
wewenang dan sebagainya guna mewujudkan pelayanan yang berkualitas prima.,”
tambahnya.
“ Sebetulnya kalau
berhubungan dengan permohonan SHGB memang menjadi kewenangan yang mempunyai Alas
Hak yang sah yang diakui oleh Negara, kalau Plaza Muntilan merupakan HPL a/n
Pemkab Magelang maka yang berhak memberikan rekomendasi adalah Pemkab
sebaliknya Kalau Plaza Muntilan berdiri di alas hak PT Merbabu maka rekomendasi
dari PT Merbabu demikian juga kalau berdiri di atas tanah perorangan Rekomendasi
dari perorangan pemegang hak atas tanah sedangkan BPN hanya Instansi Negara yang menerima
pendaftaran tanah sesuai PP No 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah,”terangnya.
“Dengan dugaan
mengulur-ulur waktu dalam kejelasan dari kasus Pedagang Plaza Muntilan dengan
Pemkab Magelang dapat disangkakan adanya perilaku Rigidity yaitu penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek
dari model pemisahan dan impersonality
dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak,dalam pelayanan
birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut aturan, tanpa
melihat kasus-perkasus,”timpalnya.
“Maka kami selaku
Lembaga yang diamanati pemerintah
berdasarkan Undang-Undang hanya akan menyoroti
pelayanan publik di bidang
pengajuan setifikat HGB dan Sertifikat HMSRS,”pungkasnya mengakiri wawancara
melalui telepon cellulair.
Mal
administrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Bentuk-bentuk
maladministrasi yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan
wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan,
kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan
sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.
Hingga berita ini
terbit masih belum ada kejelasan tentang status kasus sengketa Pemkab Magelang
dengan warga Plaza Muntilan.
(Sri W)