Oleh : Heintje Mandagi / Ketua Umum DPP SPRI
Beragam komentar dan
pendapat di berbagai grup aplikasi
Whatsapp memenuhi kolom komentar di grup WA wartawan se Indonesia terkait
pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi yang diselenggarakan LSP Pers Indonesia
di Jakarta baru-baru ini. Judul berita menjadi topik hangat yang dibicarakan.
Ini menunjukan bahwa dinamika dalam mejalankan profesi itu sudah menjadi hal
yang lumrah di kalangan wartawan.
Tidak bisa dipungkiri
bahwa ada kecenderungan terjadi polarisasi dalam kehidupan pers di Indonesia.
Ada kubu yang dipotret abal-abal dan kubu yang dipotret sebagai wartawan
profesional dan kompeten. Situasi dan kondisi ini terus bergulir sejak tiga
tahun terakhir ini. Dan memuncak pada pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi
yang diikuti puluhan wartawan dari kelompok yang dianggap abal-abal. Kelompok
ini berusaha membuktikan bahwa potret abal-abal yang disematkan selama ini
justeru menjadi peluang dan tantangan untuk membenahi kehidupan pers Indonesia
ke arah yang lebih baik. Beberapa wartawan dari kelompok yang dilabel
profesional pun ikut juga diajak menjadi peserta pelatihan ini. Bahkan salah
satu pesertanya merupakan penguji kompetensi yang berasal dari Dewan Pers.
Sebagian dari peserta pelatihan asesor ini memegang sertifikat Kompetensi
Wartawan Utama versi Dewan Pers.
Hal ini cukup
membuktikan bahwa praktek sertifikasi kompetensi bidang wartawan yang
dilaksanakan selama ini oleh kelompok yang diangap profesional ternyata
melanggar aturan perundang-undangan dan berimplikasi pidana. Penegasan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjawab persoalan bahwa domain
sertifikasi kompetensi ada pada Pendidikan Tinggi berlisensi dan Badan Nasional
Sertifkasi Profesi. Dua lembaga ini yang diberi kewenangan sesuai Undang-Undang
tersebut di atas.
Pada pasal 44 UU
Pendidikan Tinggi bahkan secara tegas menyebutkan : “Perseorangan, organisasi,
atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan
sertifikat kompetensi.” Artinya aturan ini belaku di seluruh Indonesia bagi
semua orang, semua organisasi, dan semua penyelenggara Pendidikan Tinggi yang
tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi. Hukuman atas pelanggaran
pasal ini pun tidaklah main-main sebagaimana diatur pada Pasal 93 Undang-Undang
ini yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak satu miliar rupiah.
Terlepas dari semua
itu, kita menengok sedikit ke belakang, bahwa Indonesia pernah melewati sejarah
kelam kemerdekaan pers. Dewan Pers dan terutama Departemen Penerangan RI yang
dianggap membelenggu kemerdekaan pers di era Orde Baru akhirnya tumbang dan
dibubarkan. Tidak ada lagi Depen RI dan Dewan Pers menyusul Undang-Undang pokok
Pers era Orde Baru dinyatakan tidak berlaku.
Draft Undang-Undang
Pers tahun 1999 kemudian dipersiapkan
oleh para pejuang kemerdekaan pers bersama-sama dengan puluhan pimpinan
organisasi-organisasi pers, termasuk Ketua Umum SPRI ketika itu dijabat Lexy
Rumengan.
Dalam draft asli UU
Pers Tahun 1999 itu tadinya tidak ada yang mengatur tentang Dewan Pers. Menurut
pengakuan dua saksi sejarah yang masih hidup, Lexy Rumengan, yang kini
berdomisili di Amerika Serikat, dan Hans Kawengian (Ketua Umum KOWAPPI) bahwa
saat pembahasan draft UU Pers tersebut berlangsung, Jacob Utama selaku tokoh
pers senior, mengusulkan pasal tentang Dewan Pers disisip di tengah-tengah
Undang-Undang dengan tujuan agar ada wadah yang bisa mempersatukan seluruh
organisasi pers dalam melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional.
Usulan itu menurut
Kawengian dan Rumengan, sempat mendapat penolakan dari beberapa pimpinan
organisasi pers karena trauma dengan masa lalu. Namun karena lobi-lobi yang
dilakukan Jacob Utama akhirnya berhasil membuat seluruh peserta menyetujui
pasal tentang Dewan Pers dimasukan dalam UU Pers, namun tidak dicantumkan pada
Ketentuan Umum Pasal 1 lalu disisip di tengah-tengah Undang-Undang yakni di pasal 15 agar tidak dominan jika
ditempatkan di pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Pers.
Setelah Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini disahkan, Dewan Pers yang kemudian
terbentuk, lebih banyak diam dan tidak berfungsi. Organisasi-organisasi pers
begitu merdeka dan dominan menjalankan aktifitas pegembangan kemerdekaan pers
dan peningkatan kualitas pers nasional secara mandiri dan bertanggung-jawab.
Situasi itu kemudian
berubah, ketika pada tahun 2006 Dewan Pers membujuk dan mengajak puluhan
pimpinan organisasi pers untuk berkumpul dan membahas konsep tentang penguatan
terhadap kelembagaan Dewan Pers melalui kegiatan Lokakarya pada tanggal 13
Agustus 2003 di Jakarta. Dan pada akhirnya 29 pimpinan organisasi pers membuat
pernyataan dan sepakat memberi “hadiah” mandat penguatan kelembagaan terhadap
Dewan Pers karena menganggap perlindungan terhadap profesinya bisa ikut
terjamin dengan adanya penguatan peran Dewan Pers. Sesudah itu terbitlah Surat Keputusan Dewan
Pers Nomor 05/SK-DP/111/2006 tentang Penguatan Peran Dewan Pers.
Namun sayangnya
penerapan atau implementasi dari penguatan kelembagaan Dewan Pers ini salah
diterjemahkan oleh pengurus Dewan Pers di tahun-tahun berikutnya. Bahkan
ketentuan yang disepakati justeru tidak dilaksanakan secara menyuluruh oleh
Dewan Pers hingga saat ini. Ada beberapa poin penting dalam isi penguatan kelembagaan
Dewan Pers ini justeru dilanggar oleh Dewan Pers. Salah satunya adalah pada
poin ke 10, Dewan Pers perlu terus mendorong berlakunya pasal-pasal yang
mendukung dekriminalisasi terhadap karya jurnalistik atau tidak menganggap
pelanggaran hukum dalam karya jurnalistik sebagai kejahatan. Pada poin ke 10 huruf d, diatur tentang
penerapan sanksi perdata terhadap karya jurnalistik dan hendaknya berupa denda
proporsional yang tidak menyulitkan kehidupan pihak pembayar atau
membangkrutkan perusahaan yang harus membayar denda, karena putusan hukum yang
berakibat demikian serupa dengan putusan politik berupa pembredelan terhadap
media pers. Sayangnya poin yang mengatur tentang perlindungan terhadap karya
jurnalistik ini tidak dijalankan sesuai mandat dan amanah yang diberikan kepada
Dewan Pers.
Contoh kasus yang
menghebohkan jagad pers tanah air, Muhamad Yusuf yang bekerja di media Kemajuan
Rakyat dan Sinar Pagi Baru, dikriminalisasi akibat berita yang ditulisnya
tentang rakyat yang terzolimi oleh perlakuan perusahaan, justeru direkomendasi
Dewan Pers untuk diproses dengan ketentuan hukum lain di luar UU Pers. Almarhum
Yusuf pun dikriminalisasi dan ditahan, dan akhirnya tewas dalam tahanan. Dia
harus menerima nasib sebagai wartawan yang berita kontrol sosialnya
direkomendasi Dewan Pers sebagai “kejahatan” dan layak diteruskan dengan hukum
di luar Undang-Undang Pers.
Pengingkaran terhadap
kesepakatan penguatan peran Dewan Pers juga adalah mengenai pembentukan
Perwakilan Dewan Pers di berbagai daerah sebagaiamana diatur dalam poin ke 2.
Sampai sekarang nyaris tidak ada perwakilan Dewan Pers di daerah yang
terbentuk. Kondisi ini yang menyebabkan semua pihak yang merasa dirugikan atau
keberatan atas pemberitaan di media akan lebih memilih melaporkan wartawan atau
media ke pihak Polisi jika ada sengketa pers, bukannya ke Dewan Pers. Hal itu
disebabkan akses untuk melaporkan sengketa pers di daerah tidak ada. Karena
keberadaan Dewan Pers hanya ada di Jakarta. Pos pegaduan di daerah tidak ada
sama sekali. Akibatnya, kriminalisasi pers makin marak terjadi selang kurun
waktu 3 tahun terakhir ini.
Yang lebih aneh lagi,
Dewan Pers membuat peraturan tentang Standar Organisasi Pers dan kemudian
menentukan sendiri konstituen organsiasi yang dianggap sesuai standar Organisasi
Pers yang dibuatnya. Organisasi-organisasi pers yang dulunya memberi mandat
penguatan peran Dewan Pers tidak diakui sebagai konstituen secara sepihak oleh
Dewan Pers. Padahal, tanggung-jawab Dewan Pers untuk melakukan asistensi dan
pembinaan agar organisasi pers sesuai standar yang ditetapkan bersama.
Fakta ini telah menjadi
sejarah kelam bahwa organisasi-organisasi pers yang memberi mandat kepada Dewan
Pers untuk penguatan peran Dewan Pers justeru dikhianati.
Pola penerapan
kebijakan Dewan Pers pun terhadap media-media yang marak bermunculan di seluruh
penjuru tanah air hampir sama. Ketika kebijakan Standar Perusahaan Pers
diterbitkan, perusahaan pers disuruh mendaftar dan diverifikasi. Lalu yang
tidak punya modal untuk mendaftarkan perusahaanya ke Dewan Pers di Jakarta
kemudian dilabeli atau dipotret sebagai perusahaan media abal-abal dan
didirikan untuk tujuan memeras.
Tanggung jawab Dewan
Pers untuk melakukan pembinaan terhadap kehidupan pers nasional tidak terjadi
pada kondisi ini. Dewan Pers malah sibuk memotret media yang belum diverifikasi
sebagai media abal-abal. Trik ini untuk menekan media agar berbondong-bondong
mendaftarkan medianya masing-masing demi selembar pengakuan sebagai media
terverifikasi kendati amanat UU Pers bentuknya adalah hanya mendata perusahaan
pers. Tapi terjemahannya adalah memverifikasi perusahaan pers. Itu (verifikasi
perusahaan pers) menjadi identik dengan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers atau
SIUPP di era Orde Baru. Sejarah kelam kemerdekaan pers itu seolah lahir kembali
menjelma menjadi bentuk surat bukti Verifikasi Perusahaan Pers. Undang-Undang Pers tahun 1999 lahir dengan
nafas kebebasan pers agar perusahaan pers bebas didirikan tanpa ada persyaratan
tambahan, selain syarat Berbadan Hukum Indonesia. Itu sejarahnya dan kehendak
pelaku sejarah kemerdekaan pers yang berhasil menyederhanakan pendirian
perusahaan pers dari trauma SIUPP masalah lalu.
Bahwa memang diakui,
penyalahgunaan profesi wartawan dan penyalahgunaan media dengan tujuan memeras
atau meneror seseorang terus terjadi di berbagai daerah. Penulis sepakat hal
itu tidak boleh terjadi dan harus dihentikan.
Kemudahan mendirikan
perusahaan pers adalah hadiah yang diwariskan pejuang kemerdekaan pers, namun
menjadi tanggung jawab kita sekarang ini dalam pelaksananya. Peningkatan
kualitas media harus menjadi tanggung jawab semua pihak, yakni wartawan,
perusahaan pers, dan terutama organisasi pers dan Dewan Pers. Semua wartawan
pasti sepakat bahwa pemerasan dan teror terhadap siapapun menggunakan nama
media dan profesi wartawan adalah perbuatan pidana dan tidak terpuji, serta
melanggar kode etik jurnalistik.
Nah, persoalan lain
yakni verifikasi perusahaan pers. Awal mulanya tujuan verifikasi perusahaan
pers adalah untuk pendataan dan peningkatan kualitas media. Namun faktanya,
implementasinya sudah bergeser menjadi dokumen persyaratan sebagai bukti
legalitas perusahaan pers. Penerapan kebutuhan verifikasi perusahaan pers bukan
bertujuan untuk peningkatan kualitas media, namun lebih pada azas legalitas
yang menyerupai perijinan, atau yang tidak mengantonginya akan diangap tidak
layak beroperasi. Faktanya, banyak sekali media terverifikasi DP masih
terseok-seok melanjutkan operasionalnya. Bahkan hampir seluruh media di
Indonesia, di luar media mainstream, hidup segan mati tak mau. Media
terverifikasi Dewan Pers sekalipun tidak menjamin kualitas dan kehidupan
medianya diperjuangkan oleh Dewan Pers.
Pertanyaannya, apakah
Dewan Pers menjalankan tugas “Mengembangkan Kemerdekaan Pers” dan “Meningkatkan
Kehidupan Pers Nasional” atau hanya sibuk dengan membuat peraturan dan
melaksanakan kegiatan rutin yang tidak
bermanfaat secara langsung bagi kehidupan pers nasional ?
Kenyataannya, selama
Dewan Pers dibentuk kembali pada tahun 1999, perusahaan media harus berjibaku
sendiri melaksanakaan upaya meningkatkan kehidupan pers nasional. Belanja iklan
nasional yang mencapai seratus triliunan rupiah lebih setiap tahun dibiarkan
saja oleh Dewan Pers untuk dinikmati hanya oleh segelintir konglomerat media.
Dewan Pers justeru
sibuk membuat aturan legalisasi kerja sama media dengan pemerintah daerah
dengan Surat Edarannya yang ditujukan kepada pemerintah agar kerja sama media
dengan pemerintah harus media yang terverifikasi Dewan Pers. Tidak sedikitpun
menyentuh upaya belanja iklan nasional ikut dinikmati media lokal yang
jumlahnya mencapai puluhah ribu.
Dewan Pers bukannya
sibuk mencari solusi agar belanja iklan bisa terserap atau terdistribusi ke
daerah-daerah, justeru disibukan dengan menjalankan propaganda negatif terhadap
media-media yang belum terverifikasi sebagai media abal-abal dan tidak layak
bekerja sama dengan pemerintah. Tak heran, Kementrian Kominfo dengan leluasanya
membuat petunjuk tekhnis bagi Dinas Kominfo se Indonesia agar pemerintah daerah
menetapkan salah satu persyaratan kerja sama dengan media wajib perusahaannya
terverifikasi Dewan Pers.
Kondisi ini
sesungguhnya memalukan dan merusak fungsi sosial kontrol pers terhadap
pemerintah. Dewan Pers dan Kemenkominfo telah dengan sadar dan terang benderang
melegalkan media ‘menjual’ idealismenya dengan menetapkan kebijakan yang
dianggap sah melalui keberlakuan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019
tentang Standar Perusahaan Pers dalam persyaratan kerja sama media dengan
Pemda. Ironis, tapi ini fakta bukan hoax. Media lokal terjebak dalam kondisi
ini karena tawaran belanja iklan tidak ada. Tidak ada pilihan lain selain
“maaf” menjual idealisme pers dengan mengikat kontrak kerja sama dengan
pemerintah demi melanjutkan operasional media.
Dewan Pers seharusnya
wajib menjaga independensi media dan wartawan agar tidak terkontaminasi
kepentingan pemerintah. Caranya dengan memperjuangkan sumber pemasukan media
dari belanja iklan nasional terdsitribusi ke seluruh daerah. Pada kenyataannya
lebih dari 100 triliun rupiah belanja iklan nasional setiap tahun tidak ikut
dinikmari media lokal dan hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat media yang
jumlahnya tidak lebih dari sepuluh jari tangan manusia.
Pada poin ke 5
penguatan peran Dewan Pers , salah satunya diatur tentang standar gaji wartawan
dan karyawan pers. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada penetapannya dari Dewan
Pers berapa standar gaji yang benar dan layak bagi wartawan. Wartawan media
mainstream sekalipun terbukti digaji pas-pasan tapi Dewan Pers tidak melakukan
apa-apa. Padahal di dalam Pasal 9 UU Pers mengatur kewajiban perusahaan pers
memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk
kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan
lainnya.
Pada prakteknya, masih
ada wartawan yang bekerja di media nasional yang penggajiannya berdasarkan
jumlah berita yang naik tayang di medianya. Dan fakta umum yang terjadi adalah
hampir sebagian besar media lokal tidak menggaji wartawannya. Apakah ada upaya
Dewan Pers mengatasi persoalan-persoalan di atas sebagai langkah mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional ?
Inilah fakta-fakta
sesungguhnya bahwa Dewan Pers telah gagal meralisasikan mandat dan amanat serta
fungsi yang diberikan oleh ke 29 Organisasi Pers pada tahun 2006 lalu untuk
penguatan peran Dewan Pers.
Bisa saja seluruh
organisasi pers yang berbadan hukum di Indonesia, baik yang menjadi pelaku
pemberi mandat penguatan kepada Dewan Pers, maupun organisasi pers yang ada
sekarang dan berbadan hukum, mencabut mandat Penguatan Terhadap Peran Dewan
Pers. Namun solusinya bukan seperti itu.
Sebagai wartawan yang
memiliki pengalaman dari tingkat paling bawah yaitu reporter, penulis melihat
kehidupan pers nasional tidak menuju pada peningkatan sejak Undang-Undang Pers
tahun 1999 diberlakukan.
Kemerdekaan Pers
Indonesia makin terpuruk. Indeks kemerdekaan pers menurut lembaga riset
internasional Reporter Without Borders, bahkan pernah menempatkan Indonesia
berada pada level bawah.
Media nasional nyaris
tak terlihat dalam melakukan sosial kontrol sampai pada kehidapan masyarakat di
level bawah. Potret kemiskinan rakyat di berbagai daerah masih terjadi namun
media seolah diam membisu. Pemandangan warga hidup di atas gerobak dan di
emperan toko, serta di kolong-kolong jembatan masih terjadi di mana-mana.
Padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 berbunyi :
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Media mainstream
hanya sibuk dengan konten berita politik pemerintahan yang itu-itu saja.
Informasi tentang
pengentasan kemiskinan nyaris tak tersetuh karena tidak menarik dibaca dan
ditonton. Negara kaya raya tapi masih banyak rakyat hidup di bawah garis
kemiskinan. Negara abai tapi pers diam saja. Fakir miskin dan anak-anak
terlantar belum seluruhnya dipelihara oleh negara.
Pola pengentasan
masalah di negara ini pun bak pemadam kebakaran. Ketika ramai diberitakan
media, barulah pemerintah turun tangan menangani masalahnya. Presiden Joko
Widodo seolah bekerja sendirian dalam mengatasi persoalan di masyarakat. Media
tidak memberi informasi yang konkrit di level paling bawah agar penguasa jadi
tahu penyelesaiannya di level atas. Padahal rakyat kecil paling butuh nasibnya
diekspos agar dilirik pemerintah dan pemangku kepentingan.
Kembali pada persoalan
sertifikasi kompetensi yang informasinya bergulir hangat dua hari terakhir ini.
Muncul tangapan dan reaksi Dewan Pers, yang bagi penulis sesungguhnya itu
menjadi harapan baru bagi masa depan kompetensi wartawan nasional. Intinya
Dewan Pers sudah sepakat pelaksanaan sertifikasi kompetensi diletakan pada
jalur yang benar yakni melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Ada hal yang menarik
disimak dari klarifikasi Ketua Dewan Pers Muh. Nuh bahwa pengajuan lisensi LSP
ke BNSP harus ada rekomendasi dari Dewan Pers.
Di satu sisi informasi
ini merupakan angin segar bagi pers tanah air bahwa Ketua Dewan Pers Moh. Nuh
sudah mengakui bahwa pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi wajib melalui LSP
berlisensi BNSP dan memperoleh Rekomendasi dari Dewan Pers.
Keterangan itu pun
harus diuji beradasarkan peraturan Badan Nasional Sertifikasi Profesi
menyangkut syarat pendirian LSP dan konfirmasi langsung ke Ketua BNSP. Sampai
hari ini belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Ketua BNSP kepada
publik terkait persyaratan LSP di bidang pers.
Dari sistem sertifikasi
kompetensi nasional yang berlaku selama ini mengacu pada PP Nomor 10 Tahun 2018
tentang BNSP. Jadi aturan dan perangkat hukumnya jelas.
Apapun keputusan
pemerintah wajib hukumnya bagi semua LSP termasuk LSP Pers Indonesia
mentaatinya.
Dewan Pers sebagai
lembaga independen sebaiknya legowo menerima masukan dan terbuka menerima
kenyataan jika melakukan kekeliruan. Tidak perlu marah atau malu. Kelompok pers
yang dilabeli abal-abal pun selama ini tetap menjalankan aktifitas meski
dipotret abal-abal.
Nah jika sekarang label
abal-abal itu berusaha dilepas, maka kepentingan Dewan Pers sebagai lembaga
independen yang didirkan untuk tujuan mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional harusnya berterima kasih bukannya
kebakaran jenggot. Tujuan utama dari pendirian LSP Pers Indonesia adalah untuk
meletakan pelaksanaan sertifikasi kompetensi wartawan pada jalur yang benar
agar tidak melanggar undang-undang dan berpotensi dipidana.
Publik akan menilai
kenegarawan seorang Muhammad Nuh pada persoalan ini. Situasi ini menjadi ujian
bagi Muh Nuh dan para anggota Dewan Pers, apakah kompeten sebagai Anggota Dewan
Pers atau tidak. Jika ada kelompok yang selama ini dituding abal-abal dan kemudian
membuktikan bahwa apa yang dituduhkan selama ini tidak benar dan justeru
membuka mata semua pihak yang selama ini mempraktekan sesuatu yang bertentangan
dengan Undang-Undang dan melangar hukum,
perlukah dilawan dengan cara-cara yang melanggar kode etik jurnalistik ?
Pada prinsipnya penulis
pernah melewati menjadi reporter yang gajinya pas-pasan, sampai berada pada
posisi tertinggi di keredaksian yakni pimpinan redaksi di sebuah harian lokal
dan televisi lokal. Lahir dan besar dari keluarga wartawan, menjadi kebanggaan
tersendiri.
Penulis membuat gerakan
kemerdekaan pers di Jakarta bersama sejumlah pimpinan organisasi pers, kemudian
membentuk Dewan Pers Indonesia sebagai wujud implementasi upaya mengembangkan
kemerdekaan pers dan peningkatan kehidupan pers nasional.
Dewan Pers Indonesia
berusaha mengisi kekosongan yang ada dengan membentuk Dewan Pers Indonesia
Perwakilan Provinsi dengan tujuan agar semua pengaduan masyarakat terkait
sengketa pers bisa dilayani di tingkat daerah namun masih terganjal aturan dan
sistem.
Selanjutnya, pendataan
media terhadap perusahaan pers yang dilakukan Dewan Pers Indonesia bertujuan
untuk mempermudah warga negara Indonesia mendirikan media.
Untuk meningkatkan
kehidupan pers nasional atau peningkatan kesejahteraan pers, Dewan Pers
Indonesia berusaha menyusun Draft APBD tentang belanja iklan nasional agar
terdistribusi hingga ke daerah-daerah. Dan dengan cara ini media lokal akan
sejahtera dan kerja sama media dengan pemerintah daerah tidak perlu lagi
dilakukan demi menjaga indpendensi pers. Jika perusahaan pers bisa mendapatkan
porsi belanja iklan maka diyakini wartawan makin sejahtera dan independen.
Sumatera Utara menjadi
target pertama pembahsan ranperda belanja iklan ini karena Ketua DPRD dan
pemeritah setempat memahami potensi ini.
Pilihan dan upaya ini
yang sedang dilakukan DPI karena Dewan Pers tidak mampu menjalankan peran itu.
Bicara kemerdekaan pers
jika tidak dibarengi dengan upaya menciptakan pendapatan perusahaan maka semua
pasti akan sia-sia. Income perusahaan media sudah pasti sebagian besar
diperoleh dari jasa menyediakan sarana promosi produk melalui iklan di media.
Hal inilah yang harus diperjuangkan. Bukannya DP sibuk urusin kerja sama
pemerintah dengan media yang nilainya sangat kecil sekali dan idealisme pers
jadi taruhan.
Dampak rendahnya
kesejahteraan wartawan dari segi kompetensi, misalnya wartawan dengan modal 3
buah sertifikat kompetensi sekalipun jika tidak sejahtera, maka pada gilirannya
akan ikut menerima amplop saat menjalankan profesinya. Jika kompetensi
seseorang turut dipengaruhi tingkat kesejahteraan maka tidak bisa tidak, upaya
tersebut harus diperjuangkan.
Apalah arti semua
wartawan di UKW jika tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan atau
kemampuan finasial media dan wartawan, maka ukuran kompetensi wartawannya
menjadi tidak berkompeten. Fakta ril di lapangan ada ratusan wartawan, dan
mungkin ada ribuan, yang bersertifikat UKW tapi tidak menerima gaji dari media
tempatnya bekerja. Dewan Pers harus mampu menjelskan ke publik tentang jaminan
kompetensinya apakah bisa terlaksana di lapangan jika kondisi kesejahteraan
wartawan dan media masih seperti ini.
** (Heintje Mandagie)