Mohammad Fauzi, S.I.P Penasehat DPC Projo Se-Madura dan
Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) (Foto: Istimewa)
LPKTrankonmasi.com, Sampang || Sebelum Indonesia
merdeka tahun 1945, menurut Mohammad Fauzi (Penasehat DPC ProJo se-Madura dan
Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi [LsPD]) terdapat beberapa Desa merdeka di
Kabupaten Sampang.
Desa tersebut yang cukup legendaris adalah Desa
Prajjan, Desa Napo, dan Desa Jragoan. Pada masa kemerdekaan-sekarang, Desa
Prajjan berada di wilayah administrasi Kecamatan Camplong, sedangkan Desa Napo
dan Jragoan berada di wilayah administrasi Kecamatan Omben.
Ketiga Desa tersebut, dalam tata pemerintahan
kerajaan disebut Desa perdikan, tata pemerintahan kolonial Hindia Belanda
disebut vrije Desa, dan terminologi etnis Madura disebut Desa mardikan, Selasa
(22/2/2021).
Menurut sejarahnya, konon ketiga Desa ini adalah
Desa khusus yang diberikan wilayah, otonomi, dan hak istimewa oleh R. A. A.,
Pangeran Tjakraningrat I Raja Kerajaan Bangkalan sebagai penghargaan atas
jasa-jasa para Kyai di tiga Desa tersebut pada kerajaan.
Keistimewaan hak-hak tersebut seperti bebas bayar
pajak, membuka lahan di hutan, dan kewajiban kerja pada kerajaan Bangkalan.
Keistimewaan ini tentu berbeda dengan Desa Daleman dan percaton.
Pasca Pemerintahan Kerajaan hak istimewa ketiga Desa
tersebut, tetap dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda dan bahkan di
tahun pertama kemerdekaan keberadaannya juga diakui oleh rezim Orde Lama.
Namun, sejak diberlakukannya UU No. 13 Tahun 1946
tentang Penghapusan Desa Perdikan, hak-hak istimewa ketiga desa tersebut sudah
tidak berlaku lagi.
Penguasaan tanah-pun juga dibatasi dan bahkan
dikuasai sepenuhnya oleh negara. Ketentuan ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan regulasi lain yang berlaku
setelahnya.
Menilai tindakan rezim tersebut, Fauzi menuturkan
pada awak media LPKTrankonmasi bahwa meski tindakan tersebut dibenarkan
konstitusi, tapi juga perlu diingat bahwa Desa perdikan bukan fenomena hukum
tetapi pranata sosial produk sejarah pemerintahan kerajaan masa lalu.
"Oleh karena itu,
akan lebih etis jika Desa perdikan dimasukkan sebagai pranata sosial produk
sejarah pemerintahan kerajaan masa lalu, tapi penguasaan atas tanah/lahan yang
melampaui batas juga harus dibatasi oleh negara," Ujar Fauzi.
"Modifikasi tindakan seperti ini terasa elok
daripada memberangus Desa perdikan sebagai pranata sosial produk sejarah masa
lalu.
"Sehingga dengannya Desa perdikan tetap punya
hak klaim, dan memperjuangkan haknya sebagai bagian masyarakat hukum adat (MHA)
atas tanah, wilayah, dan SDA jika diberikan tempat dalam konstitusi dan regulasi.
Namun, modifikasi tindakan seperti ini sulit dilakukan. Nasi sudah jadi bubur.
Keistimewaan hak ketiga desa perdikan tinggal sejarah. Semoga tanah perdikan
yang sudah dilepas penguasaannya tidak melahirkan sengketa agraria, seperti di
kabupaten/kota lain di Jawa Timur, sehingga memberikan kemakmuran bagi
masyarakat," Tegas Fauzi.
Hingga berita ini diterbitkan pihak media
LPKTrankonmasi.com masih kesulitan menghubungi pihak Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Kabupaten Sampang.
(Ries)