Kota Bekasi. LpkTrankonmasi.com
Berkembangnya adanya dugaan Pungutan di SMAN 8 Kota Bekasi.
Terkait pembayaran Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) dengan dugaan
adanya bukti surat pernyataan pembayaran sebesar Rp. 155 .000,- per siswa,
sedangkan dilangsir pemberitaan berbagai
media online, bahwa Pemprov Jawa Barat akan membebaskan biaya SPP/iuran bulanan
peserta Didik (IBPD) untuk SMA/SMK Negeri pada tahun ajaran 2020-2021.
Namun pada kenyataannya masih banyak sekolah-sekolah yang
melakukan pungutan seperti dugaan yang terjadi di SMAN 8 tersebut yang tidak
mengindahkan induksi Gubernur Jawa Barat. Ridwan Kamil.
Humas SMAN 8 Kota Bekasi. H. Munawir, saat dikonfirmasi
diruang Kerjanya. Mengatakan. Itu kan baru informasi saja, dan belum tahu
peraturannya yang dikeluarkan oleh Gubernur, kalau memang sudah ada tentu akan
dipatuhi peraturan itu, kenapa sekolah
melakukan pungutan/ pembayaran SPP disekolah
SMA in ( SMAN 8-red ) tidak ada," katanya.
"Mengenai SPP Rp.300ribu itu, tahun lalu dan sekarang
tidak ada lagi, kalau mengenai pembayaran Rp. 155ribu persiswa benar, serta
sudah sesuai hasil rapat komite sekolah dan memang benar mendapatkan subsidi
sebesar Rp. 145ribu persiswa/bulan dari Provinsi untuk menutupi kekurang biaya,
sebab mengingat guru honorer di SMAN ini, ada 30 orang dan yang Pegawai Negeri
Sipil (PNS) ada 52 orang, dan Untuk siswa berjumlah 1230 orang siswa/wi yang
terbagi dari 34 rombongan belajar,(rombel) atau ruang kelas, untuk dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) setiap siswa)wi mendapatkan sebesar Rp. 1,5 juta per
siswa/per tahun, tapi program yang cair yaitu Hanya sebesar Rp.750ribu
Persiwa/Pertahun, untuk Bantuan Operasional Sekolah Darah ( BOSDA) yaitu
sebesar Rp.145ribu, sedangkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah
(RAPBS) yang dibutuhkan sebesar Rp.4, 7 Milyard dan sementara dana yang
terhimpun untuk saat ini cuma 2(dua) Milyard, jadi kekurangan atau minusnya itu
untuk honorer," ungkapnya.
Lebih lanjut, H. Munawir. menambahkan, bicara dana BOS untuk
gaji honorer, hasil RKAS tidak mencukupi , sedangkan kita untuk menutupi biaya
pembinaan kegiatan ekstrakurikuler,, maka dari kebutuhan di SMAN 8 ini tidak
mencukupi, dan komite sekolah melakukan Pengalangan dana tersebut, kalau di
katakan gratis memang gratis, tapi sebelum ada keputusan Pergub atau Perwal itu
secara hukum belum, itu kan hanya pernyataan," paparnya kepada beberapa
media.kamis (03/09/2020)
”Yang jelas kewajiban dalam bentuk sumbangan bukan pungutan,
dan untuk membayar Rp. 155 ribu itu , tidak melekat yang artinya tidak semua
membayar. Dengan cara subsidi silang," tuturnya
Namun ironisnya, saat awak media ingin menanyakan tentang
nomor person ketua komite sekolah untuk dikonfirmasi H. Munawir menjawab
denganketus, "Saya harus izin dulu dengan beliau (Subagio-red) dan tidak
bisa memberikan sembarangan begitu saja, karena beliau seorang pejabat di
Kemenhan.”
Saat disinggung kembali oleh para awak media, mengenai kantor
sekretariat komite sekolah ada disebelah mana.....?
Juga dijawab oleh H. Munawir dengan entengnya, bahwa
kantornya tidak ada, emangnya...! harus ada Sekretariat komite ya, dan ini
adalah masukan... yang nanti akan dibuat Sekretariatnya dan saya
(H.Munawir-red) juga baru tahu dari teman-teman wartawan...! , Setahu saya...!
Komite itu bukan bagian dari pelaksana sekolah, maka tidak adanya kantor
Sekretariatnya dan baiklah atas informasinya, kalau begitu ini sebuah masukan,
tentunya kedepan harus ada Sekretariat komite dan paling nanti dibuat didepan
apakah dekat pos satpam atau dekat kamar mandi," ujarnya.
H. Munawir saat terakhir dikonfirmasi soal definisi bantuan,
sumbangan dan pungutan...?
H. Munawir enggan menjawabnya dan terdiam, Maaf saya harus
rapat , sebab sudah ditunggu karena disini zona merah," gegasnya.
Dari hasil wawancara eksklusif dengan awak media diduga Humas
tersebut tidak banyak memahami regulasi yang mengatur tentang komite sekolah,
sehingga patut diduga adanya pungutan yang belum jelas dasar hukumnya alias
pungutan liar (Pungli)
Di tempat terpisah.
Ketua Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia (AWPI) Kabupaten Bekasi. Marzuki.S.ip.
Menanggapi mengenai adanya dugaan Pungutan Liar di sekolah tersebut, sebab
Pendidikan adalah salah satu jenis layanan dasar yang wajib disediakan negara.
Namun demikian, negara tidak memiliki kemampuan pendanaan yang cukup, bahkan
setelah konstitusi mengamanatkan alokasi anggaran 20% APBN/APBD untuk sektor
pendidikan.
“Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, dibuka ruang
partisipasi masyarakat yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor: 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 75 Tahun 2016 tentang Komite
Sekolah. Dalam kedua peraturan ini yang disebut Pungutan Pendidikan adalah
penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orangtua/walinya yang
bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya
ditentukan," tegasnya.
"Sedangkan
sumbangan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik,
orangtua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga
secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan. Makna mendalam dari
frasa partisipasi adalah kesukarelaan peran, sehingga partisipasi orang
tua/masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan harus dimaknai sebagai bentuk
kesukarelaan peran karena keterpanggilan, bukan kewajiban apalagi yang
dikaitkan dengan hak-hak siswa atas proses belajar mengaja. Ketika dilekati
sifat bahkan norma pewajiban, ada berbagai konsekwensi hukum yang melekat atau
bisa dilekati di dalamnya. Pemahaman pihak
sekolah yang masih beragam mengenai
bentuk partisipasi yang boleh dan yang tidak boleh menjadi pintu masuk
suburnya sumbangan yang berbau pungutan dengan diduga menghalalkan segala cara
demi untuk memperkaya diri sendiri, sehingga aroma Pungutan Liar mulai dirasakan
oleh masyarakat, apalagi disaat situasi Pandemi Covid seperti ini,"
paparnya.
"Kapan suatu pungutan disebut Pungutan Sah dan kapan
dianyatakan tidak sah? Pungutan disebut sah jika memiliki dasar hukum yang sah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan, dan dipungut oleh orang/petugas yang
memiliki kewenangan untuk memungut. Dan disebut tidak sah jika pungutan tidak
memiliki dasar hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,
dan/atau dipungut oleh orang/petugas yang tidak memiliki kewenangan untuk
memungut. Hemat saya, jika sekolah adalah lembaga publik yang tunduk pada hukum
administrasi publik maka dua unsur pungutan tersebut haruslah dipenuhi agar
tidak disebut melakukan pungutan liar. Sekolah mestinya tidak melakukan pungutan
hanya semata-mata dengan dasar kesepakatan bersama komite kecuali jika sekolah
bukan lembaga publik dan tunduk pada hukum privat. Jika pun demikian, sekolah
harus mematuhi syarat-syarat sahnya suatu kesepakatan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 Hukum Perdata. Dengan demikian perlu diatur bahwa apakah pungutan di
sekolah adalah sejenis retribusi, pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
ataukah jenis pungutan lain yang legal. Harus ada payung hukum yang memberikan kewenangan kepada Kepala
sekolah sehingga resmi dan sah, sehingga tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku," pungkasnya.