Oleh
: Pudjo Rahayu Risan
Ahli mengatakan bahwa
Komite COVID-19 membuat lamban birokrasi menangani Corona. Adalah Ketua Ikatan
Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman mengkritik Presiden
Joko Widodo (Jokowi) terkait pembentukan Komite Penanganan COVID-19 melalui Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2020.
Dedi menyebut
pembentukan Komite COVID-19 tidak sesuai dengan semangat reformasi birokrasi
yang selama ini dijanjikan Presiden Jokowi. Menurutnya, Presiden seharusnya
memperkuat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) daripada membuat badan baru.
"Kementerian
teknis yang harusnya diperkuat, sehingga fungsi satuan tugas adalah lebih ke
koordinasi dan penguatan peran bukan mengambil alih fungsi kementerian
teknis," kata Dedi dalam webinar yang digelar Ikatan Alumni UI, Sabtu
(1/8).
Kekawatiran Dedi bisa
dimaklumi, bahwa Komite Penanganan Covid-19 menambah panjang alur birokrasi dan
membuat gerak satgas menjadi tak fleksibel seperti gugus tugas. Konsekuensinya
bisa membuat koordinasi antara Komite Kebijakan, Satgas Percepatan Penanganan
Covid-19 dan Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional dalam struktur komite tersebut
tak jelas. Akibatnya ditataran lapangan orang bisa multi tafsir. Tafsir pertama
tiga-tiganya langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Kedua, satgas di bawah
komite kebijakan dan ini memperbanyak alur birokrasi.
Memperpanjang
Birokrasi
Birokrasi adalah
entitas penting suatu negara. Apa yang dimaksud dengan birokrasi? Secara
etimologis, birokrasi berasal dari kata Biro (meja) dan Kratein (pemerintahan),
yang jika disintesakan berarti pemerintahan Meja. Tentu agak 'lucu' pengertian
seperti ini, tetapi memang demikianlah hakikat birokrasi oleh sebab lembaga
inilah tampak kaku yang dikuasai oleh orang-orang di belakang meja. Pengertian
sederhana, semakin banyak meja semakin panjang birokrasi.
Dalam tataran
implementasi, fungsi pemerintahan kita tengok pendapat Prof. DR. M. Ryaas
Rasyid, MA, yang pernah menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada
Kabinet Persatuan Nasional 29 Agustus 2000 - 7 Pebruari 2001. Menurut Ryaas
Rasyid ada empat fungsi pemerintahan yaitu pelayanan (public service),
pembangunan (development), pemberdayaan (empowering), dan pengaturan
(regulation).
Dari pengertian
pemerintah menurut Ryaas Rasyid, yang intinya Komite COVID-19 dianggap justru
memperlambat birokrasi karena terlalu banyak “meja” yang mengakibatkan
birokrasi disamping lambat juga menjadi panjang. Maka dari itu, setiap
pemerintah merumuskan kebijakan publik dalam hal ini bertujuan menangani
COVID-19 sekaligus menghidupkan kembali perekonomian nasional yang sempat
mandeg dan stagnan bahkan menjadi mundur bisa pulih kembali.
Kebijakan
Publik
Kebijakan publik yang
baik, paling tidak ada lima acuan, pertama dirancang sesuai dengan kerangka
acuan dan teori yang kuat. Kedua, disusun korelasi yang jelas antara kebijakan
dan implementasinya, ketiga ditetapkan adanya organisasi yang
mengkoordinir pelaksanaan kebijakan sehingga proses implementasi dapat berjalan
dengan baik, keempat untuk kemaslahatan umat, sehingga sangat bermanfaat bagi
publik dan kelima, diterima oleh sebagian besar publik, diharapkan muncul
partisipasi.
Dikaitkan dengan empat
fungsi pemerintahan yaitu pelayanan (public service),
pembangunan (development),
pemberdayaan (empowering), dan
pengaturan (regulation). Kebijakan
publik yang baik selalu berorientasi kepada pelayanan, pembangunan,
pemberdayaan dan pengaturan. Maka dari kebijakan publik musti dirancang sesuai
dengan kerangka acuan dan teori yang kuat.
Pertama, kerangka acuan
dan teori yang kuat tidak bisa lepas dari dua komponen yang harus dibangun
kembali setelah mengalami wabah dunia COVIFD-19, sekaligus untuk memberdayakan
masyarakat dengan aturan yang memihak pada pelayanan untuk masyarakat.
Kedua, harus ada
korelasi yang jelas antara kebijakan yang akan diambil dengan implementasi yang ada pada Komite COVID-19.
Selanjutnya ketiga, kebijakan publik sekaligus sebagai rujukan siapa organisasi
yang mengkoordinir dan melaksanakan, siapa berbuat apa bertanggung jawab kepada
siapa. Pertanyaannya, sejauhmana dengan alur birokrasi yang menjadi leading
sektor. Ini sekaligus menjawab pernyataan Dedi Supratman seharusnya Presiden
memperkuat Kemenkes dari pada membuat badan baru.
Keempat, tidak kalah
penting kebijakan publik nantinya besar manfaatnya untuk masyarakat sebagai
pelayanan yang prima. Kelima, diterima oleh sebagian besar publik, diharapkan
muncul partisipasi. Pada gilirannya disamping melayani kebutuhan masyarakat
sekaligus memberdayakan baik aspek kesehatan dan mampu membangkitkan gerakan
dan kegiatan ekonomi yang sempat “lumpuh”.
Catatan
Kritis Komite COVID-19
Ketua IAKMI Dedi
Supratman menilai, Perpres 82/2020 Tentang Komite Penanganan Covid-19 dan
Pemulihan Ekonomi Nasional tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi
Presiden Jokowi. Dedi menilai, fungsi Satuan Tugas Penanganan Covid-19
seharusnya melengkapi tugas-tugas kementerian terkait, bukan malah mengambil
alih peranannya. Kementerian teknis yang harus diperkuat sehingga fungsi satgas
koordinasi dan penguatan peran, bukan mengambil alih peran Kementerian teknis.
Mari kita tengok
pasal-pasal yang ditengarai memperlambat dan memperpanjang jalannya birolrasi
pemerintahan. Pada Pasal 3 dalam Perpres 82/2020, Komite Kebijakan memiliki
tugas menyusun rekomendasi kebijakan strategis kepada Presiden dalam rangka
percepatan penanganan COVID-19 serta pemulihan perekonomian dan transformasi
ekonomi nasional. Mengintegrasikan dan menetapkan langkah-langkah pelaksanaan
kebijakan strategis serta terobosan yang diperlukan untuk percepatan penanganan
COVID-19 serta pemulihan perekonomian dan transformasi ekonomi nasional.
Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan strategis dalam rangka
percepatan penanganan COVID-19 serta pemulihan perekonomian dan transformasi
ekonomi nasional.
Ada tiga poin, yaitu
menyusun rekomendasi kebijakan strategis, mengintegrasikan dan menetapkan
langkah-langkah pelaksanaan dan melakukan monitoring dan evaluasi. Disinilah
dimungkinkan terjadi tumpang tindih dengan kementrian atau lembaga dan badan
yang selama ini ada dan existing. Ini diperkuat dengan Pasal 6 dalam Perpres
tersebut Satgas memiliki tugas untuk menjalankan kebijakan tersebut. Paling
gampang ditemukan tugas Satgas berpotensi tumpang tindih dengan Kemenkes.
Pada ayat (2) Pasal 3
Susunan keanggotaan Komite Kebijakan relatif gemuk, ditengarai menjadi tidak
lincah dan tidak efektif, terdiri dari satu Ketua Menko Perekonomian, dibantu
enam Wakil Ketua masing-masing, Menko
Kemaritiman dan Investasi, Menko Polhukam,
Menko PMK, MenKeu, Menkes dan Mendagri. Ketua Pelaksana Men BUMN,
Sekretaris Eksekutif I, Raden Pardede dan Sekretaris Eksekutif II, Sekretaris Kemenko Perekonomian.
Pada ayat (2) Pasal 3
Susunan keanggotaan Komite Kebijakan level ini adalah tataran kebijakan. Harus
diterjemahkan sebagaimana Pasal 5. Pada ayat (1) dalam pelaksanaan tugasnya,
Komite Kebijakan dibantu oleh Sekretariat Komite Kebijakan. Ayat (2) Sekretariat
Komite Kebijakan dipimpin secara bersama oleh, Sekretaris Eksekutif I untuk
bidang program dan Sekretaris Eksekutif II untuk bidang administrasi.
Semoga niat baik dari
pemerintah menerbitkan Perpres 82/2020 Tentang Komite Penanganan Covid-19 dan
Pemulihan Ekonomi Nasional bisa sejalan dengan semangat reformasi birokrasi
Presiden Jokowi. Hal ini penting mengingat penanganan COVID-19 tak bisa
dilepaskan dari upaya pemulihan perekonomian nasional. COVID-19 telah
menyebabkan penurunan berbagai aktivitas ekonomi yang membahayakan perekonomian
nasional. Oleh karena itu, penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional
perlu dilakukan dalam satu kelembagaan. Dalam Pasal 1 ayat (2) Komite berada di
bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Semoga langkah ini bisa lebih
efektif langsung dibawah Presiden.
(Drs. Pudjo Rahayu
Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia (AIPI) Semarang, Pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD
Jateng