Oleh : Pudjo Rahayu
Risan
Gibran Rakabuming Raka,
putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi topik pembicaraan
dikalangan masyarakat dikaitkan dengan pemilihan Walikota Surakarta, 9 Desember
2020. Rencana politik Gibran ikut mendaftar lewat PDIP beberapa waktu yang lalu
sempat memunculkan wacana politik dinasti dengan segala dinamikanya. Teka teki
terjawab, ketika DPP PDIP memberi rekomendasi kepada Gibran berpasangan dengan
Teguh Prakosa, sebagai bakal calon Walikota dan Wakil Walikota Surakarta.
Salahkah Gibran karena
anak presiden memperoleh rekomendasi dari PDIP untuk bertarung merebut Walikota
Surakarta ? Mendaftar ke PDIP juga sesuai prosedur internal partai. Manuver
Gibran dari pengusaha muda yang sukses beralih ke dunia politik dengan ikut
Pilkada 2020 ada yang salah ? Apakah sebagai anak presiden dan masuk kategori
politik dinasti itu salah ?
Mari kita telaah,
paling tidak ada tiga (3) aspek instrument untuk menganalisa Gibran mendapat
rekomendasi dengan menyisihkan Achmad Purnomo Wakil Walikota Surakarta petahana
yang direkomendasikan DPC PDIP Surakarta
menjadi bakal calon Walikota berpasangan dengan Teguh Prakosa.
Yuridis, Filosofi dan
Sosiologis.
Pertama, ditinjau dari
aspek yuridis formal. Pelarangan terhadap seseoran yang mempunyai hak untuk
dipilih akan mencalonkan diri sebagai
kepala daerah kebetulan merupakan bagian dari dinasti politik tertentu, masuk
kategori melanggar hak politik seseorang sehingga bertentangan dengan asas
demokrasi.
Dengan pertimbangan
tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pelarangan dimaksud bertentangan
dengan konstitusi sehingga politik dinasti dihalalkan melalu putusan MK Nomor
33/PUU-XIII/2015. Larangan keluarga tertentu untuk mencalonkan diri
bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebetulnya politik
dinasti sudah dikenal dan menggejala jauh sebelum Indonesia merdeka. Kita lihat
ditingkat desa, pada suksesi kepemimpinan pemilihan kepala desa sangat lumrah
diwarnai dengan politik dinasti. Walau tetap dengan pemilihan langsung, calon
yang ikut kompetisi berasal dari dinastinya, seperti istri, anak atau
kerabatnya.
Secara yuridis formal
tidak ada regulasi yang melarang seseorang untuk menggunakan hak politiknya
dikaitkan dengan keluarga atau dinasti. Berarti politik dinasti tidak melanggar
aturan. Pada posisi ini Gibran sebagai individu secara sah tidak melanggar
regulasi yang berlaku. Dari sisi ini clear. Posisi 1 : 0 untuk Gibran.
Aspek kedua, ditinjau
dari sisi filosofi. Dari sisi filosofi, kita semua berharap pada masa kedepan
semua aspek kehidupan warga kota Solo menjadi lebih baik. Gibran menjadi
Walikota kedepan akan membawa masyarakatnya lebih sejahtera. Pengalaman empirik
ketika menjadi pengusaha bisa menjadi contoh anak-anak muda yang mau
berwiraswasta. Dalam konteks ini muncul dua pendapat yang saling bertentangan
antara yang setuju dengan politik dinasti dan yang satu menentang. Politik
dinasti ibarat pisau bermata dua, Dua kubu antara yang pro dan kontra.
Kenapa diartikan pisau
bermata dua ? Artinya, di satu sisi, praktik politik dinasti merampas hak orang
lain karena berpotensi menggunakan cara-cara yang tidak benar yang melanggar
prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Pada sisi lain, pelarangan terhadap
seseoran yang mempunyai hak untuk dipilih
akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kebetulan merupakan bagian
dari dinasti politik tertentu, juga melanggar hak politik seseorang sehingga
bertentangan dengan asas demokrasi.
Pada posisi ini seri
antara yang pro dan kontra masing-masing memiliki aergumentasi yang bisa
diterima. Dengan demikian perolehan angka 0,5 : 0,5. Kedudukan menjadi 1,5 :
05, tetap untuk Gibran.
Aspek ketiga, ditinjau
dari kacamata sosiologis. Pada aspek ketiga kita ibaratkan partai final.
Idealnya, secara regulasi tidak melanggar, secara filosofi kedepan lebih banyak
mashlahat daripada mudharatnya dan ketiga secara sosiologis diterima sebagian
besar masyarakat pemilih di Solo.
Partai final ini akan
ditentukan lewat pemilihan umum kepala daerah. Karena ditentukan dengan pemilihan umum maka penentuan bukan karena ditunjuk. Artinya Gibran
bertanding atau kompetisi. Walau kategori ada unsur dinasti, tetap melewati
pemilihan umum yang ada kemungkinan kalah.
Untuk itu, kita
serahkan sepenuhnya kepada masyarakat kota Solo yang memiliki hak suara untuk
menentukan pilihannya. Pilih Gibran atau tidak pilih Gibran. Pada saat yang
sama penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu berkerja secara profesional,
transparan, akuntabel dan bisa dipercaya, niscaya polemik politik dinasti bisa
diakhiri.
Karena ini partai final
maka yang menang nilai 2. Apabila Gibran menang posisi menjadi 3,5 : 0,5.
Seandainya Gibran kalah maka kedudukan menjadi 1.5 : 2,5.
Biarlah proses
demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Walau ada pendapat politik dinasti
dinilai tidak bertentangan dengan demokrasi, tetapi di sisi lain hal itu kerap
melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi. Pertanyaannya, apakah politik
dinasti mengebiri demokrasi ? Menggerus demokrasi ? Silakan dijawab sendiri
sesuai dengan cara pandang masing-masing. Karena memang aturan mainnya
memungkinkan Gibran dengan hak politiknya ikut pilkada dan ada partai yang
mengusung. Penentuan pertandingan siapa yang menang, pada akhirnya kembali
kepada masyarakat pemilih yang memiliki hak suara untuk menentukan siapa yang
dipercaya untuk memimpin wilayahnya. Kebetulan Gibran anaknya Presiden Jokowi.
(Drs. Pudjo Rahayu
Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris AIPI (Asosiasi Ilmu
Politik Indonesia) Semarang, Pengajar
tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng)