Oleh : Pudjo Rahayu
Risan
Saya beranggapan, lebih
sulit menangani protokol kesehatan dibanding proses Pilkada bagi penyelenggara,
KPU dan Bawaslu. Asumsi ini muncul ketika pada diskusi secara daring yang
diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang dengan topik
“Pilkada 9 Desember 2020 dan Antisipasi Pandemi Covid-19”, adalah dr. Muhamad
Thohar Arifin, MD., Ph.D., Sp.BS(K), Pengajar FK-Undip yang menerangkan secara
detail, sangat detail sekali tentang protokol kesehatan pada pelaksanaan
Pilkada 9 Desember 2020.
Kenapa lebih sulit ?
Bagi kalangan KPU dan Bawaslu masing-masing dengan jajarannya sampai ditingkat
bawah, sudah biasa dan piawai menyelenggarakan hajatan pemilu baik untuk DPRRI,
DPD, Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota maupun DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten
serta Kota. Tidak sedikit mereka memiliki pengalaman berulang-ulang dari
tingkatan yang berbeda. Sedangkan melaksanakan pada pilkada serentak yang
direncanakan 9 Desember 2020, dalam suasana pandemic Covid-19, merupakan
pengalaman pertama. Ada tata cara yang tidak boleh dilanggar, yaitu protokol
kesehatan.
Menyimak penjelasan dr.
Thohar Arifin, sekaligus membayangkan betapa repot dan rumit pelaksanaan
Pilkada serentak 2020 yang akan dilaksanakan di 270 daerah terdiri dari 9
provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten. Bicara protokol kesehatan pada perhelatan
Pilkada 2020, memang harus dipersiapkan dengan baik. Diorganisir secara matang.
Apalagi seperti yang disampaikan oleh Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19 Letnan Jenderal TNI Doni Monardo sebanyak 49 daerah dengan
perincian 9 provinsi dan 40 kabupaten/kota tergolong berisiko tinggi. Sementara
43 tidak terdampak, 72 risiko ringan, dan 99 berisiko sedang.
Harmonikan
Corona dengan Demokrasi
Bagaimana menurut pendapat anda, pesta
demokrasi ditengah-tengah pandemic Covid-19. Atau sedang ada wabah Covid-19,
Pilkada serentak 2020 tetap dilaksanakan yang hanya mundur dua bulan 16 hari
dari rencana awal, 23 September 2020. Corona menyesuaikan demokrasi atau
demokrasi menyesuaikan Corona. Lebih menjaga demokrasi atau menjaga kesehatan.
Sebuah pilihan yang sulit. Karena sulit, maka tulisan ini bertujuan ingin
mengharmonikan demokrasi ditengah wabah Corona atau Covid-19 bersahabat dengan
perta demokrasi.
Walau sulit, pilihannya
wabah Corona atau Covid-19 bersahabat dengan pesta demokrasi. Dari aspek
protokol kesehatan, yang harus dicermati pertama, matrial. Matrial disini yang
dimaksud alat pelindung diri (APD) antara lain masker, hand sanitizer, dan
(idealnya) baju hazmat harus disiapkan
baik dari sisi jumlah (kuantitas) maupun mutu (kualitas) dengan kualifikasi
yang memenuhi syarat, syukur-syukur standar WHO. Untuk APD sudah muncul
polemik, soal pengadaan APD sumber dana dari mana. Itu baru APD untuk
penyelenggara, bagaimana dengan pemilih ? Bicara dana untuk keperluan APD
tampaknya belum ada harmonisasi. Dari aspek perencanaan anggaran belum jelas
siapa yang merencanakan, sumber dana dari rangkaian Pilkada atau rangkaian
penanganan Covid-19. Dari APBN atau APBD.
Kedua, soal sumber daya
manusia (SDM) juga perlu dicermati. Kenapa ? Diperlukan ada SDM yang mengawal
Pilkada dari aspek protokol kesehatan. Namun jangan dibebankan kepada Anggota
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
untuk ikut menangani dari sisi protokol kesehatan. Kalau personil
anggota KPPS juga dibebani untuk menangani diluar proses pilkada sungguh tidak
bijak. Anggota KPPS sudah dituntut konsentrasi dan professional. Salah langkah
sedikit bisa-bisa “dituduh” ada unsur politiks.
Disinilah diperlukan
SDM yang tahu persis tentang keprotokolan kesehatan. Apalagi ada rekomendasi
bahwa pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) yang subu badan
diatas 37,3 C dipisah dan disediakan tempat khusus. Fasilitas ini juga
berimplikasi dengan dana, baik untuk tempatnya maupun SDM yang memfasilitasi
ketika proses pemungutan suara berlangsung.
Ketiga, tata cara
penggunaan dan durasi waktu memakai APD bagi petugas di TPS. Bisa kita bayangkan
mereka, petugas harus sudah mulai menggunakan APD sebelum pukul 07.00 dan
proses pemungutan suara akan berakhir pukul 13.00. Petugas di TPS masih harus
meneruskan proses penghitungan dan rekapitulasi. Maka permintaan untuk menambah
waktu dari 07.00 – 13.00 menjadi 07.00 – 15.00 pihak KPU tidak sependapat. KPU
tak perpanjang waktu pemungutan suara meski Pilkada saat pandemi, juga ada
baiknya.
KPU sudah tegas tidak
akan memperpanjang waktu pelaksanaan pemungutan suara Pilkada 2020 meski
digelar di situasi pandemi Covid-19. Pemungutan suara Pilkada tetap akan
dilaksanakan pada pukul 07.00 hingga 13.00. Ketentuan ini tertuang dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pilkada. Atas dasar ini KPU tak bisa
mengubah aturan tersebut.
Konsekuensi dari tidak
bisa diperpanjang waktu pemungutan suara dari pukul 07.00 – 13.00 bisa
berimplikasi terhadap protokol kesehatan.
Katakanlah satu TPS terdiri dari 200,
250 atau 300 pemilih dengan durasi enam jam sementara luasan TPS sangat
terbatas. Protokol kesehatan menjadi rentan untuk terlanggar. Penumpukan
pemilih di TPS sulit dihindari. Bila luasan TPS diperluas akan berimplikasi
dengan besaran dana. Selama ini saja biaya untuk membuat TPS dengan dana yang
ada sudah sangat terbatas.
Keempat, karena Pilkada 2020 digelar pada 9 Desember 2020
alias hanya mundur dua bulan 16 hari dari rencana awal, 23 September 2020,
masih sangat spekulatif dikaitkan dengan adanya wabah Covid-19. Dalam hal
pemungutan suara serentak tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak
ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 122A. Pasal l22A (1) Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal l2O dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan
Pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan.
Penetapan penundaan
tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan Pemilihan serentak
lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama
antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kelima, posisi KPU
perlu kerja keras. Kenapa ? Setelah sempat ditunda yang mestinya direncanakan
pemungutan 23 September 2020, proses tahapan sudah sebagian berjalan tiba-tiba
harus berhenti karena wabah Covid-19. Dengan terbitnya Perppu 2/2020, KPU,
Pemerintah dan DPR sepakat Pilkada 2020 dilaksanakan 9 Desember 2020.
Sebelumnya KPU sempat memberi tiga skenario penundaan Pilkada. Opsi pertama,
ditunda tiga bulan yakni 9 Desember 2020, opsi kedua penundaan selama enam
bulan sehingga Pilkada diprediksi digelar 17 Maret 2021, dan opsi ketiga
penundaan selama 12 bulan sehingga Pilkada diprediksi digelar 29 September
2021.
Kerja keras disamping
pelaksanaan Pilkada masih diliputi wabah Covid-19, paling tidak ada tujuh
potensi kerawanan. Ketujuh potensi yang bisa menimbulkan titik kerawanan,
adalah dana, dimana kalkulasi pihak penyelenggara dengan hitung-hitungan Pemda
selalu tidak sama. Untuk regulasi, ditingkat bawah walau sudah diadakan sosialisasi
pada tataran dilapangan sering terjadi multi tafsir. Dari pihak penyelenggara,
kendala karena tingkat SDM yang tidak merata.
Kerawanan juga rentan
dari sisi peserta. Aspek yang sangat sensitive problem klasik pada daftar pemilih tetap. Tidak kalah penting
kerawanan bisa muncul sejak proses persiapan, pelaksanaan dan pascapelaksanaan
serta pihak-pihak terkait (stakeholders).
(Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan
Publik, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang, pengajar
tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng)