Oleh : Pudjo Rahayu Risan
Oleh
: Pudjo Rahayu Risan
Gibran Rakabuming Raka,
lahir di Solo, 1 Oktober 1987, adalah seorang pengusaha muda Indonesia. Sejak
Desember 2010, membuka usaha catering yang diberi nama Chilli Pari. Sekaligus
merupakan pendiri perusahaan kuliner martabak yang disebut Markobar. Publik juga
paham adalah putra sulung dari Presiden Joko Widodo, yang lebih dikenal Jokowi.
Sejak kecil Gibran menetap di Solo, tetapi saat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dirinya pindah ke Singapura untuk melanjutkan sekolah setingkat Sekolah
Menengah Atas (SMA) pada tahun 2002 di Orchid Park Secondary School, Singapura.
Selanjutnya pada tahun
2007 Gibran lulus dari Management Development Institute of Singapore (MDIS) dan
melanjutkan studinya ke University of Technology Insearch, Sydney, Australia
hingga lulus pada tahun 2010. Ia menjabat sebagai ketua Asosiasi Perusahaan
Jasa Boga Indonesia (APJBI) Kota Solo. Pada 11 Juni 2015, Gibran menikahi
mantan putri Solo yang bernama Selvi Ananda. Pada 10 Maret 2016, Selvi
melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamai Jan Ethes Srinarendra. Pada 15
November 2019, Gibran dan Selvi dikarunai anak perempuan bernama La Lembah
Manah.
Pada 9 Juni 2018,
Gibran mendirikan sebuah aplikasi pencari pekerja lepas dan paruh waktu yang
bernama Kerjaholic bersama Leonard Hidayat, Josh Ching, Michael, Daniel
Hidayat. Kerjaholic adalah sebuah aplikasi yang bisa menghubungkan para pencari
kerja dengan pihak-pihak yang sedang mencari pekerja lepas dan paruh waktu.
Politik
dinasti.
Itulah seklumit siapa
Gibran Rakabuming Raka, yang sedang menjadi topik pembicaraan setelah secara
resmi mendapat rekomendasi dari DPP PDIP untuk maju sebagai bakal calon
Walikota didamping Teguh Prakosa sebagai Wakil Walikota Surakarta. Kenapa
hangat diperbincangkan ? Pertama, berhasil menyisihkan Achmad Purnomo yang
sekarang masih menjabat Wakil Walikota Surakarta, dimana DPC PDIP Surakarta
mencalonkan berdampingan dengan Teguh Prakosa sebagai wakilnya. Teka teki sudah
terjawab rekomendasi jatuh ke Gibran – Teguh.
Kedua, hangat
dibicarakan karena kental sekali dengan istilah politik dinasti. Publik sudah
paham betul bahwa Gibran putra sulung Presiden Jokowi. Politik dinasti
menimbulkan polemik pro dan kontra, setuju dan tidak setuju. Kelompok yang pro
atau setuju dengan politik dinasti, bahwa pelarangan terhadap seseorang yang
mempunyai hak untuk dipilih akan
mencalonkan diri sebagai kepala daerah kebetulan merupakan bagian dari dinasti
politik tertentu, masuk kategori melanggar hak politik seseorang sehingga
bertentangan dengan asas demokrasi.
Pandangan ini diperkuat
dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pelarangan dimaksud
bertentangan dengan konstitusi sehingga politik dinasti dihalalkan melalu
putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015. Larangan keluarga tertentu untuk mencalonkan
diri bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Secara
yuridis formal tidak ada regulasi yang melarang seseorang untuk menggunakan hak
politiknya dikaitkan dengan keluarga atau dinasti. Berarti politik dinasti
tidak melanggar aturan.
Sedangkan kelompok yang
kontra atau tidak setuju dengan politik dinasti, menganggap bahwa politik
dinasti mengebiri demokrasi. Menggerus demokrasi. Apa alasan politik dinasti
mengebiri dan menggerus demokrasi ? Mengebiri demokrasi karena prakti-praktik
politik dinasti cenderung mempengaruhi proses yang mestinya demokratis, menjadi
tidak demokratis karena campur tangan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan,
kekuatan, pengaruh dan infrastruktur politik.
Bungkusnya demokrasi
tetapi isinya, tidak demokratis. Dulu,
jaman kerajaan menentukan pemimpin berdasarkan pewarisan ditunjuk langsung,
sekarang mencari kepala daerah lewat jalur politik prosedural. Anak atau
keluarga para elite kekuasaan lewat institusi yang disiapkan, yaitu partai
politik. Patrimonialistik dibungkus dengan jalur prosedural. Walau dipilih
secara langsung, peranan ke-dinasti-an tetap berjalan, walaupun dengan proses
demokrasi. Bahkan memasuki era reformasi yang merubah memperoleh kekuasaan
dengan demokrasi, pemilihan langsung, praktik politik dinasti benar-benar
menggejala.
Sementara pihak
beranggapan politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang
sedang berproses di Indonesia dan akan melemahkan atau menggerus demokrasi. Kenapa ? Karena
politik dinasti, cenderung mengabaikan
kompetensi dan rekam jejak. Gibran sempat dimasalahkan karena ada persyaratan
minimal sudah tiga tahun menjadi kader partai. Publik paham betul bahwa Gibran
memiliki kartu tanda anggota PDIP ketika dalam proses mencari rekomendasi.
Diakui atau tidak, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam
menentukan pemimpin. Apalagi ada signal dari petinggi partai PDIP bahwa DPP,
khususnya Ketua Umum memiliki hak prerogratif yang wewenangnya mutlak.
Secara jujur publik
juga paham bahwa jam terbang Gibran di dunia politik masih sangat rendah. Namun
begitu regulasi tidak ada pasal yang melarang mereka menggunakan hak sebagai
warga negara untuk ikut kontestasi di pilkada. Sebetulnya mereka berdua juga
memiliki beban moral yang berat justru karena aroma politik dinasti sangat
kental. Siapa yang tidak tahu kalau Gibran adalah anak presiden. Maka ada
ungkapan, menang tidak membanggakan, biasa-biasa saja, wajar, lumrah. Tapi
kalau kalah menggangu reputasi orang tuanya. Sinyalemen inilah yang menjkadi
spekulasi publik bahwa ada campur tangan kekuasaan. Baik langsung maupun tidak
langsung.
Jalan
terjal
Perjalanan Gibran
menggapai kursi Walikota Surakarta belum selesai. Namun begitu, jalan terjal
sudah dilalui. Kenapa terjal ? Terjal diawali dari DPC PDIP Surakarta sesuai
mekanisme dan kewenangan partai sudah memutuskan mengajukan pasangan Achmad
Purnomo, petahana Wakil Walikota, dan Teguh Prakosa anggota DPRD Surakarta,
dua-duanya kader PDIP sebagai bakal calon Walikota dan Wakil Walikota.
Memang keputusan DPC
PDIP Surakarta belum final, karena keputusan akhir ada pada DPP PDIP. Peluang
Gibran masih terbuka, maka melakukan manuver politik, disini sudah nampak aroma
politik dinasti. Bahkan menghadap Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri,
serta sudah mendaftar sebagai bakal calon Walikota Surakarta, lewat DPD PDIP
Jawa Tengah. Langkah Gibran tidak keliru karena mekanisme penjaringan di PDIP
memungkinkan. Bisa mendaftar lewat DPC, DPD maupun DPP PDIP. Bisa kita
bayangkan seandainya Gibran bukan putra presiden.
Apakah langkah Gibran
salah, keliru, tidak etis, menggebiri demokrasi atau merugikan publik ?
Sebetulnya penjelasan Jokowi sudah jelas. Artinya, jabatan walikota adalah
bukan penunjukkan, melainkan kompetisi. “Ketika kompetisi, bisa menang dan bisa
kalah, karena ini dipilih bukan ditunjuk”.
Maka kata akhir nanti 9
Desember 2020, fakta yang akan berbicara. Gibran akan memenangkan pertarungan
di Pilkada serentak 2020, atau sebaliknya. Seandainya Gibran unggul maka sah
saja karena dipilih oleh warga Solo yang memiliki hak sebagai pemilih. Tidak berdasarkan
penunjukkan. Seandainya tumbang, sudah barang tentu akan mencoreng secara
politis keluarga presiden.
Kerja keras mesti
dilakukan dan pengalaman serta strategi Presiden Jokowi yang sudah teruji
karena pernah memenangkan pemilihan umum lima kali. Dua kali menang pemilihan
walikota, sekali menang pemilihan gubernur dan dua kali memenangkan pemilihan
presiden, akan diuji kembali.
(Drs.
Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris AIPI
(Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) Semarang, Pengajar tidak tetap STIE Semarang
dan STIE BPD Jateng)