Oleh : Pudjo Rahayu
Rizan
Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) tampaknya tidak ingin Gibran melenggang meraih kursi panas
Walikota Surakarta dengan mudah. Harus di”lawan” jangan dibiarkan warga Solo
tidak ada pilihan lain, kecuali Gibran. "Kalau tidak dikasih opsi lain,
itu namanya tidak demokrasi." Begitulah penegasan Kader PKS Abdul Fikri
Faqih, sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKS Jawa Tengah.
Setali tiga uang, tokoh
PKS Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera dan
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid juga bertekad tidak akan
membiarkan calon Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka melawan kotak kosong di
Pilkada 2020, karena itu sama saja membunuh demokrasi. "Demokrasi perlu
kompetisi, karenanya PKS sudah menyiapkan kader untuk bersaing dengan
Gibran," kata Ketua DPP PKS Mardani
Ali Sera, Minggu (19/07/2020).
Pihaknya saat ini
sedang membangun komunikasi partai politik lain di Solo. "Insyaallah, PKS
akan mengusung calon walikota Solo bersama partai politik lain," terang Mardani Ali Sera. Sementara, Wakil
Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid menegaskan tentu saja PKS menyiapkan
kader untuk Pilkada di Solo.
"Tetapi masalahnya
kan bukan di situ. Ada aturan, Undang-Undang Pilkada yang menentukan syarat
minimal dukungan calon mahasiswa walikota adalah 9 kursi DPRD," terang
Hidayat yang juga menjabat Wakil Ketua MPR. Hidayat Nur Wahid menambahkan
sementara PKS baru diberi amanat rakyat sebanyak lima kursi di DPRD Kota Solo.
PKS sudah membuka diri untuk berkoalisi
dengan partai lain.
"Tapi kabarnya
'kan semua partai yang punya kursi di Solo, kecuali PKS, sudah memutuskan
untuk mendukung Gibran," ujar
Hidayat Nur Wahid, Minggu (19/07/2020). Namun demikian, lanjut dia, PKS akan tetap mensukseskan demokrasi Pilkada
tanpa mendukung Gibran.
Seperti diketahui,
komposisi perolehan kursi di DPRD Solo di Pemilu 2019, PDIP berhasil menduduki
30 dari 45 kursi DPRD Solo. Partai-partai lain,
lima kursi untuk PKS, satu kursi untuk PSI, lalu masing-masing tiga kursi
untuk Gerindra, PAN, dan Golkar. Sampai saat ini PKS yang belum menentukan
sikap politik terkait Pilkada Solo. Sedangkan partai lainnya sudah menyatakan
dukungan untuk duet, Gibran-Teguh Prakosa.
PKS
galang koalisi
Niat PKS untuk “menjegal” Gibran dengan harapan tidak menjadi
calon tunggal, tampaknya akan mengalami kesulitan. Bahkan sia-sia. Kenapa ?
Menggalang dengan partai lain diluar PDIP secara hitung-hitungan dan kalkulasi
politik menjadi tidak menarik karena harus berhadapan dengan PDIP. Termasuk
cucu Pakubuwono XII, BRA Putri Woelan Sari Dewi membuka diri terhadap peluang
maju sebagai lawan Gibran di Pilkada Solo mendatang. Keinginan Putri Woelan
bisa ditempuh dengan dua cara, pertama, diusung partai politik atau gabungan
partai politik minimal memiliki sembilan kursi di DPRD Surakarta. Sedangkan
kemungkinan kedua, maju lewat jalur perseorangan.
Kedua syarat tersebut sulit diperoleh. Untuk calon
perseorangan, melihat waktu terlalu mepet belum dana dan relawan yang mencari
dukungan untuk persyaratan. Sedangkan lewat partai politik atau gabungan partai
politik hanya PKS yang semangat untuk “melawan” Gibran. Sementara PKS memiliki
kursi lima maka butuh tambahan minimal empat. Dengan demikian harus berkoalisi
dengan dua partai politik.
Peta kekuatan PDIP di Solo sulit ditandingi. Benar-benar
kandang banteng. Bahkan sejak jaman orde baru yang hanya tiga kontestan,
Golkar, PPP dan PDI (belum PDIP) setiap pemilu PDI(P) selalu unggul. Bahkan
sering perolehan kursi Golkar digabung dengan PPP masih dibawah PDI(P).
Fenomena yang pernah terjadi, Golkar hanya kalah di DKI Jakarta pernah
dikalahkan oleh PPP. Sedangkan di Solo, fenomena yang terjadi sampai sekarang
PDIP selalu unggul telak.
Realita politik yang seperti itulah, tampaknya PKS walau
berada diurutan kedua hanya memperoleh lima kursi, Gerindra, PAN, dan Golkar
masing-masing tiga dan PSI satu, harus
berkoalisi minimal dengan dua partai. Dimana syarat minimal untuk mencalonkan
kandidat 20 persen sama dengan 9 kursi.
Sepertinya Gerindra,
PAN, Golkar apalagi PSI harus berpikir panjang untuk bersedia berkoalisi dengan
PKS agar bisa mengusung calon untuk melawan Gibran. Melawan PDIP di Solo,
sungguh tidak menguntungkan. Sebagai contoh, cermati strategi PAN, Sekretaris
Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan alasan partainya mendukung Gibran adalah
"Jokowi effect" yang masih besar di Surakarta. "Itu kampungnya
Pak Jokowi. Ia jadi wali kota dan berhasil di sana," kata Eddy.
Kotak
kosong.
Melihat fenomena dinamika politik di Solo, tanpa koalisi,
PKS tak akan bisa mengusung pasangan calon menjadi penantang Gibran. Untuk
koalisi dengan dua partai pemilik kursi di DPRD Surakarta tampaknya juga sulit.
Satu-satunya potensi lawan Gibran ada pada pasangan calon independen Bagyo
Wahyono-FX Sutardjo yang saat ini masih mengikuti proses verifikasi dukungan.
Mereka telah mengumpulkan sekitar 28 ribu surat dukungan.
Masih membutuhkan
sekitar tujuh ribu dukungan lagi untuk memastikan pasangan ini dapat lolos
sebagai pasangan calon lewat jalur perseorangan. Pasangan Badjo masih punya
waktu hingga 27 Juli untuk melengkapi kekurangan tersebut. Pertanyaannya,
bersediakah atau mungkinkah PKS dengan kader dan relawan yang terkenal militant
membantu melengkapi kekurangan dukungan untuk calon perseorangan ?
Dalam konsep politik
untuk mencapai tujuan, mengunakan taktik menggunakan segala cara. Apakah konsep
ini mungkin akan dipilih oleh PKS. Tidak peduli vivi sama atau tidak. Tidak
peduli platform sama atau tidak. Yang penting menguntungkan atau tidak
menguntungkan untuk melawan Gibran agar tidak menjadi calon tunggal. Yang bisa
menjawab PKS.
Melawan kotak kosong
dalam pilkada, sejatinya tidak menguntungkan bagi proses demokrasi. Publik
“dipaksa” untuk memilih pemimpinnnya dengan perbandingan kotak kosong. Padahal,
pilkada adalah salah satu mekanisme demokrasi yang sudah sedemikian rupa
didesain agar semua pihak berkesempatan untuk ikut bertanding.
Apa yang dirasakan oleh pasangan calon yang ternyata harus
berhadapan dengan kotak kosong ? Pertama, pastilah sangat optimis karena
kemenangan langsung ada di depan mata. Ongkos politik relatif lebih rendah
dibanding apabila head to head. Tidak perlu banyak dana, terutama logistik.
Kedua, mestinya
bangga. Hal ini menggambarkan tak
tertandingi. Lawan takut sebelum bertanding. Disini fungsi mesin parpol tidak
berhasil melakukan kaderisasi dengan menyiapkan kandidat untuk bertarung.
Mestinya tak harus terjadi, bila parpol
siap untuk berkompetisi. Justru sebaliknya, fenomena calon tunggal di
pilkada, semakin menunjukkan bila parpol di daerah telah gagal melakukan
rekrutmen kader yang siap berkompetisi.
Bahkan lebih memilih mendukung partai yang lebih kuat, bisa-bisa malah
dapat konpensasi dari pada mengajukan calon. Apalagi biaya pencalonan dan biaya
pemilu cukup mahal parpol harus ikut nanggung.
Ketiga, diakui atau
tidak diakui calon tunggal memiliki beban moral yang tidak ringan. Menang
dengan kotak kosong, tidak membanggakan dibandingkan ada lawannya. Kalau sampai kalah dengan kotak
kosong, habislah reputasi dan kredibilitasnya. Karena proses pemilu yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, siapapun tidak bisa menjamin
siapa yang akan menang. Hasilnya benar benar unpredictable.
(Drs. Pudjo Rahayu
Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia (AIPI) Semarang)