Oleh : Th. Dewi Setyorini,
Psikolog
Founder of Rumah Permberdayaan,
Semarang
Setelah gempuran pandemi Covid-19 memutar balikkan tatanan kehidupan, cepat
atau lambat semuanya akan bergulir kembali. Dua bulan lebih kita menahan diri
sambil melihat dan berjaga, mengenali musuh dan membaca peluang. Tak mudah
memang untuk mengambil satu keputusan karena
konsekuensinya akan berdampak pada banyak hal. Kehati-hatian menentukan sikap
adalah langkah yang bijak demi menjaga kehidupan untuk tidak rontok. Setiap
detil strategi dikaji, setiap pertimbangan disusun, apapun keputusannya, akan
selalu seperti pisau bermata dua. Perdebatan antara mana yang menjadi prioritas
tak layak dinilai secara negatif karena semuanya berpegang pada azas
kemaslahatan bersama. Pada akhirnya akan sampai pada titik temu yang kembali
berpulang pada kepentingan masyarakat di atas segalanya.
Cepat atau lambat kehidupan dikembalikan pada fungsi sejatinya. Sebagai manusia,
tak mungkin selamanya hanya diam karena sejatinya kemanusiaan adalah bekerja.
Bekerja adalah beribadah. Pengejawantahan manusia untuk meneruskan generasinya
dan menjaga kelangsungan hidup. Semuanya memang tak akan sama dengan saat
sebelum pandemi terjadi. Akan ada banyak penyesuaian, adaptasi, kompromi, dan
aturan untuk mengatur bagaimana kita hidup, bekerja, beribadah, dan
bermasyarakat. Akankah selamanya demikian? Harapannya tentu tidak. Hingga
vaksin ditemukan, rasanya kita harus sejenak menahan diri dan berjaga-jaga
dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan.
Mau tak mau kita harus berubah karena tatanan baru akan segera diterapkan.
Meski semuanya masih dalam proses ke arah eksekusi, namun tak dapat dipungkiri
bahwa kita akan memasuki sebuah babak baru. New Normal. Kehidupan akan ditata
ulang, diberi rambu-rambu untuk mengarahkan bagaimana kita hidup, bagaimana
kita menjalin relasi, bagaimana kita bekerja, bahkan bagaimana kita
beribadah. Sebuah kehidupan yang mungkin
tak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun demi keselamatan bersama, semuanya
harus kita lakukan. Persoalannya, mudahkah kita berubah? Selama ini kita sudah
menikmati sebentuk kehidupan yang lebih lentur, tanpa protokol kesehatan yang
harus kita rujuk, dan kini saatnya kita dihadapkan pada situasi dimana kita
perlu tunduk demi hidup kita dan orang lain.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan yang akan selalu dihadapi oleh manusia.
Dalam tiap detik dan menit, kehidupan tak akan pernah sama. Tak semua orang
dapat berubah dengan cepat. Ada orang yang begitu mudah berubah sesuai dengan
tuntutan keadaan, namun banyak pula orang yang sulit berubah, bahkan resistan
terhadap perubahan tersebut. Resistensi terhadap perubahan lebih banyak terjadi
karena adanya kecemasan bahwa kita tak akan mampu berdinamika dalam kompetisi
hidup yang begitu ketat, mungkin juga kita tak banyak memiliki modalitas untuk
berubah. Kemungkinan lain karena kita merasa cemas tak akan mendapatkan porsi
yang sama sebagaimana yang saat ini kita dapatkan, pun karena kita tak yakin
bahwa kita mampu berubah.
Perubahan akan membutuhkan skill
atau ketrampilan tertentu yang tak semua orang akan mudah memilikinya.
Penolakan atau bertahan pada kondisi yang sama sering terjadi karena orang
kadang melihat bahwa dirinya tak akan mendapatkan benefit (manfaat) dari perubahan tersebut. Pembangkangan,
penolakan, dan bertahan pada kondisi yang sama, menjadi pekerjaan rumah bersama
karena akan sulit sebuah gerbong besar ditarik jika terdapat hambatan untuk
membenahi diri.
Dalam konteks psikologi, kesiapan untuk berubah atau readiness to change merupakan sebuah mindset yang muncul untuk mengimplementasikan
perubahan yang mencakup keyakinan, sikap dan intensi terhadap target perubahan
dengan mempertimbangkan kapabilitas untuk mengimplementasikan perubahan itu
sendiri. Readiness adalah faktor yang
paling penting untuk mensupport perubahan tersebut (Holt et al., 2007). Dalam hal ini tingkat kesiapan individu akan bervariasi
tergantung pada modalitas yang dimiliki dan harapan akan benefit (manfaat) yang bisa diperolehnya dari perubahan tersebut. Modalitas
dalam hal ini sumber daya diri yang dimiliki bisa dalam bentuk kemampuan,
ketrampilan, relasi, finansial, pengetahuan, pendidikan, dan masih banyak lagi.
Selama kita masih memiliki kehidupan ini, selamanya tak akan mampu mengelak
setiap perubahan yang ada. Kenyataannya tak semua orang memahami bagaimana dan
mengapa mereka harus berubah. Fakta bahwa saat ini masih banyak masyarakat yang
meremehkan protokol kesehatan yang ditetapkan adalah sebuah kenyataan bahwa tak
semua orang memahami untuk apa mereka harus membiasakan diri terhadap sesuatu
yang sama sekali baru. Banyak dari kita yang belum disiplin dan memegang teguh
aturan yang ada, tak sedikit yang mengabaikan cuci tangan, dan tak jarang banyak
yang tetap berkumpul tanpa memperhatikan keselamatan diri dan orang lain, meremehkan
penggunaan masker, dan mengabaikan jarak antar sesama. Hal ini memicu
pertanyaan begitu sulitnyakah kita berubah.
Sebenarnya arah perubahan apa yang akan kita tuju terkait dengan pandemi
Covid-19 ini? ini adalah pertanyaan yang rasanya perlu dirujuk jawabannya
terlebih dahulu. Perubahan apa yang sebenarnya akan terjadi dan mengapa hal itu
harus kita lakukan.
Sebagaimana yang kita tahu bersama, pandemi Covid-19 belum akan berlalu dari kehidupan kita, dan
tak selamanya kita mengurung diri di rumah. Meski berbagai konsekuensi ada
didepan mata dan sedang dikaji, kenyataannya adalah hidup harus dilanjutkan.
Sejalan dengan hal itu, maka perlahan denyut nadi ekonomi akan mulai berdegup.
Meski dampak virus Corono ini tingkat prosentase kematiannya kecil, namun
karena serangannya masif dan sulit diduga, maka yang dibutuhkan adalah
kehati-hatian dan kewaspadaan. Tak jarang orang meremehkan seakan virus ini tak
lebih dari virus flu saja.
Kita mungkin tak pernah membayangkan bagaimana perjuangan yang dihadapi
saat terkena vius ini bagi sebagian orang yang rentan. Efek mematikannya bagi
mereka yang memiliki riwayat penyakit tertentu secara khusus pada orang tua. Kerusakan organ tubuh yang vital
akan menjadi kondisi yang dapat memicu kematian. Hal inilah yang sering tak
kita sadari bahwa yang kuat sebenarnya menularkan virus itu kepada yang lemah.
Dalam hal inilah kehati-hatian
ditekankan agar kita tak menularkan virus tersebut kepada orang lain.
Pada dasarnya saat ini kita sedang membangun empati bersama dan kepedulian
pada orang lain. Kita tak bisa mengambil posisi semau kita sementara kita
sendiri menjadi ancaman besar bagi yang lain, entah orang tua kita sendiri,
teman atau orang yang tak kita kenal sama sekali. Karena itu, kita dituntut
untuk mematuhi protokol kesehatan demi menjaga agar virus ini tak begitu saja
menyerang orang lain. Mengubah pola hidup keseharian inilah yang sebenarnya
menjadi perubahan utama kita karena dampaknya tak semata aspek medis, namun
sosial, dan ekonomi. Kita sudah merasakannya, bahwa saat ini kondisi ekonomi
terpuruk hanya dalam hitungan bulan, dan itu tak hanya terjadi di Indonesia
namun di hampir sebagian besar dunia. Jika kita berperilaku semau sendiri dan
menyepelekan protokol kesehatan, hal itu sama saja dengan mengajak seluruh dunia
bunuh diri cepat atau lambat.
Ada beberapa point yang dapat kita lakukan untuk menyiapkan diri menghadapi
perubahan, sekecil apapun :
1. Terima kenyataan bahwa hidup selalu dinamis dan bisa
berubah setiap saat. Hari ini atau nanti tak akan lagi sama. Kita perlu
menerima kenyataan itu apapun konsekuensinya, terutama jika kita ingin tetap
menjadi pemain utama dalam perubahan dan bukan semata penonton atau bahkan
korban perubahan.
2.
Siapkan
mental set. Perubahan dapat kita lihat sebagai hambatan, tantangan, atau
peluang tergantung mental set yang kita miliki. Semua effort (usaha) entah positif atau negatif, semuanya menuntut energi
yang sama. Alih-alih mengeluarkan energi yang tak perlu atau negatif yang
mengedepankan emosi, lebih baik kita baca sebagai peluang, sekecil apapun ambil
peluang tersebut.
3.
Tak
selamanya perubahan sesuai dengan diri kita, bisa saja justru bertentangan.
Pelajari, kaji, dan dalami, dimana posisi kita dan bagaimana kita bersikap,
kedepankan sikap cerdas, kritis, dan perbanyak informasi. Jika perlu ajak orang
lain berdiskusi, sharing, buka
kemungkinan perdebatan secara rasional dan objektif. Fakta bahwa perubahan adalah sebuah
keniscayaan yang tak mungkin dihindari akan memberikan fleksibilitas dalam kita
melihat dan menyikapi.
4.
Perbanyak
relasi, bangun networking, lebarkan
pengaruh. Satu teman akan memberikan satu peluang, bayangkan jika kita memiliki
banyak teman, maka akan lebih banyak peluang. Kelola dan terus-menerus
diperbaharui hingga menjadi asset yang dapat mendukung ke arah perubahan.
5. Belajar dan terus belajar, jangan pernah bosan untuk
belajar, kepada siapapun. Semua yang ada di sekitar kita adalah sumber ilmu
pengetahuan hidup yang tak akan pernah habis. Pada akhirnya kita akan menemukan
dimana passion kita. Pada saat itulah kita akan menemukan bahwa dinamika
kehidupan adalah sebuah irama hidup yang terus akan berdenyut dan berdenyut.
Apapun perubahan yang terjadi, apapun dinamika yang kita hadapi, jika kita
sendiri lentur maka tak akan mudah tergerus oleh setiap pergolakan hidup yang
begitu dinamis. Selamat menapak satu tahap kehidupan lagi.
Semarang, 03/06/2020
#Taufiq W