Jakarta, LpkTrankonmasi- Pandemic Covid-19 di tanah air belum menunjukkan
tanda-tanda akan berakhir. Hal ini memicu melemahnya perekonomian ditanah air.
Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pasien
positif corona di seluruh dunia per 21 Juni adalah 8.708.008 orang. Bertambah
183.020 (2,15%) orang dibandingkan hari sebelumnya.
Tambahan 183.020 dalam sehari kasus menjadi rekor tertinggi sejak
WHO mendokumentasikan kasus corona pada 21 Januari. Sementara pertumbuhan 2,15%
menjadi laju paling cepat sejak 18 Juni.
Padahal dunia masih merasakan euforia setelah pemerintahan di
berbagai negara melonggarkan pembatasan sosial (social distancing). Masyarakat
yang selama berbulan-bulan #dirumahaja kini mulai bisa kembali beraktivitas
meski harus mematuhi protokol kesehatan.
Namun kehidupan normal yang baru (new normal) ternyata membawa
konsekuensi peningkatan penularan virus corona. Maklum, virus yang bermula dari
Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini akan semakin mudah
menular ketika terjadi peningkatan interaksi dan kontak antar-manusia.
Oleh karena itu, muncul kekhawatiran bahwa jikalau kasus corona
terus bertambah dalam jumlah yang signifikan, maka social distancing akan
kembali diketatkan. Masyarakat kudu kembali ke rumah. Bekerja, belajar, dan
beribadah di rumah. Aktivitas publik menjadi sangat terbatas, bahkan boleh
dibilang hampir mati suri.
Ketika aktivitas sangat terbatas, maka sama saja menghentikan laju
roda perekonomian. Harapan new normal akan membawa pemulihan ekonomi
mulai paruh kedua 2020 menjadi buram. Ketidakpastian masih sangat tinggi,
karena ada risiko social distancing kembali digalakkan.
Semakin lama orang-orang berdiam di rumah, maka resesi hampir
pasti berlangsung dalam waktu yang lebih lama. Hampir mustahil ekonomi dunia
melesat pada 2021 kalau social distancing diketatkan lagi.
Persepsi semacam ini yang kemudian membuat pelaku pasar bakal
bersikap wait and see.Lebih baik menunggu terlebih dulu sampai ada
kejelasan lebih lanjut, jangan melakukan apa-apa sampai ada kepastian.
Senin (23/06/2020)
Perdagangan keuangan Indonesia berakhir melemah, Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) dtutup terkoreksi 0,47%, nilai tukar rupiah hingga harga
obligasi pemerintah juga melemah.
Untuk nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,43% di
perdagangan pasar spot. Sempat dibuka
stagnan, rupiah tidak mampu bertahan sehingga melemah sepanjang hari.
Sedangkan imbal hasil
(yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 3,4
basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini
sedang melemah karena tekanan jual.
Kekhawatiran investor untuk bermain di kisaran aset-aset beresiko
disebabkan karena penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19)
yang kembali meluas.
Dari bursa saham New York, tiga indeks utama ditutup hijau. Dow
Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,59% menjadi 26.024,96, S&P 500
bertambah 0,65% ke 3.117,86, dan Nasdaq Composite menanjak 1,11% ke
posisi 10.056,475. Nasdaq mencatat rekor tertinggi sepanjang masa.
Meski investor khawatir akan second wave outbreak virus
corona, tetapi sejumlah data ekonomi terlalu sayang untuk diabaikan begitu
saja. Sebab, ada sinyal aktivitas ekonomi mulai bangkit dari keterpurukan.
National Activity Index terbitan bank sentral AS (The Federal
Reserve/The Fed) Chicago pada Mei tercatat sebesar 2,61. Melonjak tajam
dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar -17,89 dan sekaligus menjadi
rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Kemudian dari Eropa, pembacaan awal Indeks Keyakinan Konsumen Zona
Euro menunjukkan angka -14,7. Masih minus, tetapi membaik ketimbang bulan
sebelumnya yang -18,8. Setelah menyentuh titik nadir pada April, IKK Zona Euro
terus membaik.
"Investor coba melakukan kalibrasi antara peningkatan kasus
corona dan data ekonomi yang membaik. Hasilnya, mungkin akan ada
pengetatan sosial distancing, atau reclosing, tetapi parsial
saja," kata Art Hogan, Strategist di National Securities, seperti dikutip
dari Reuters.
Penutupan parsial atau mini-lockdown adalah pemberlakuan social
distancing hanya di daerah lingkup tertentu yang mencatatkan penambahan kasus
corona dalam jumlah signifikan. Contohnya di Beijing, kala muncul kluster
penyebaran baru dari sebuah pasar tradisional, hanya 11 kawasan yang
diberlakukan lockdown dengan penjagaan ketat aparat selama 24 jam. Tidak
seluruh Kota Beijing yang 'dikunci'.
Langkah ini diharapkan mampu mempersempit ruang gerak virus corona
hanya di zona merah, sehingga penanganan bisa lebih fokus. Sementara di daerah
lain, aktivitas masyarakat tetap berjalan sehingga roda ekonomi terus berputar.
Dengan demikian, harapan pemulihan ekonomi tetap terjaga walau tidak setinggi
sebelumnya.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah
risiko. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang menggembirakan. Semoga
optimisme investor di New York bisa menyeberangi Samudera Atlantik menuju ke
Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua tentu seputar pagebluk virus corona. WHO
sudah merilis data terbaru penyebaran virus corona global.
Per 22 Juni, jumlah pasien positif corona di kolong atmoster
adalah 8.860.331 orang. Bertambah 152.323 orang (1,75%) dibandingkan hari
sebelumnya, ada perlambatan kasus.
Namun, Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus berpesan
bahwa kita semua harus waspada. Dia menyatakan bahwa ada sejumlah negara yang
awalnya berhasil menekan jumlah pasien baru, tetapi kemudian melonjak lagi
karena pelonggaran social
distancing.
"Seluruh negara harus mencari keseimbangan antara melindungi
masyarakat dan meminimalkan dampak sosial-ekonomi. Hidup dan penghidupan bukan
pilihan, mereka bisa berjalan beriringan. Kami mendorong negara-negara untuk
berhati-hati dan kreatif dalam mencari solusi agar masyarakat bisa tetap aman
selagi menjalani kehidupan.
"Kami mendorong agar negara-negara meningkatkan pelayanan
kesehatan. Pengujian, mengisolasi yang sakit, melakukan pelacakan dan
karantina, dan melindungi para pekerja. Pada saat yang bersamaan,
langkah-langkah ini hanya akan efektif jika masing-masing individu melindungi
dirinya dan orang lain dengan cara menjaga jarak, mencuci tangan, dan
menggunakan masker," jelas Ghebreyesus dalam pembukaan briefing harian
WHO, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Sementara di Indonesia, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19
melaporkan jumlah pasien positif corona per 22 Juni adalah 46.845 orang.
Bertambah 954 orang (2,08%). Terjadi percepatan penambahan kasus karena hari
sebelumnya jumlah pasien baru bertambah 862 orang (1,91%).
Sejauh ini pemerintah masih on track dalam membuka keran
aktivitas masyarakat secara bertahap. Ketua Gugus Tugas Doni Monardo
mengungkapkan, sejumlah kawasan pariwisata sudah boleh mulai beroperasi
kembali.
"Dengan persiapan-persiapan secara terukur dan terus menerus
oleh pemerintah bersama-sama pemerintah daerah, hari ini saya akan mengumumkan
kawasan-kawasan pariwisata alam yang direncanakan akan dibuka secara bertahap.
Kawasan pariwisata alam tersebut dapat dibuka secara bertahap sampai dengan
batasan pengunjung maksimal 50% dari kapasitas normal," papar Doni.
Namun dengan kurva kasus corona di Indonesia masih cenderung
melengkung ke atas, belum melandai, Indonesia tidak boleh berpuas diri dan
lengah. Sebab kalau lengah, maka jumlah kasus akan meningkat dengan signifikan.
Jika terjadi lonjakan kasus, maka bukan tidak mungkin Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) yang menjadi momok bagi perekonomian akan kembali
diketatkan.
Sentimen ketiga, pelaku pasar perlu mencerna proyeksi ekonomi
terbaru. Pada kuartal II-2020, pemerintah sudah memberi prakiraan bahwa ekonomi
Indonesia akan mengalami kontraksi -3,1%.
Awalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa
ekonomi akan kembali tumbuh positif pada kuartal III-2020 meski hanya mendekati
0%. Dengan begitu, Indonesia bisa terhindar dari resesi karena kontraksi tidak
terjadi pada dua kuartal beruntun pada tahun yang sama.
Namun terjadi dinamika, dan pemerintah keluar dengan 'ramalan'
terbaru. Sri Mulyani menyebutkan sebenarnya ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh
1,4% pada kuartal III dan IV, dengan syarat belanja negara terserap dengan baik
dan PSBB terus direlaksasi.
"Kalau tidak, maka (pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020)
bisa -1,6%. Itu technically resesi. Kalau kuartal III negatif, secara
teknis Indonesia bisa masuk ke zona resesi," ungkap Sri Mulyani.
Tidak hanya Sri Mulyani, sejumlah pihak lain juga memperkirakan
Indonesia akan masuk ke jurang resesi pada tahun ini. Salah satunya adalah
Morgan Stanley.
Bank ternama asal AS itu memperkirakan ekonomi Indonesia pada
kuartal II-2020 terkontraksi -5%. Dilanjutkan dengan kontraksi pada kuartal
III-2020 dan kuartal IV-2020 masing-masing -1,5% dan -0,5%. Ini membuat ekonomi
Ibu Pertiwi sepanjang 2020 mengkerut -1%.
"Kami menilai ada negara-negara yang sudah mulai membuka
kembali aktivitas publik tetapi penambahan kasus baru relatif terkendali,
seperti China, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Thailand, dan Malaysia. Risikonya
ada di Indonesia, India, dan Filipina," sebut riset terbaru Morgan
Stanley.
Awalnya Morgan Stanley memperkirakan ekonomi Indonesia bisa pulih
pada kuartal IV-2020 atau kuartal I-2021. Namun dengan perkembangan kasus
corona yang belum stabil, yang mungkin bisa berujung kepada upaya penanganan
lebih ketat, pertumbuhan ekonomi akan terdampak.
"Jika puncak pandemi corona belum terlihat sampai kuartal
III-2020, maka jalan menuju pemulihan ekonomi akan semakin panjang," tulis
riset Morgan Stanley.
So, situasinya kini menjadi agak gloomy. Prospek pemulihan
ekonomi Iyang masih penuh tanda tanya bisa membuat investor ragu masuk ke pasar
keuangan Indonesia. Kalau ini terjadi, maka sulit bagi IHSG, rupiah, dan
obligasi pemerintah untuk menguat.
Kalau sentimen kedua dan ketiga beraroma pesimisme, maka
sentimen ketiga mungkin bisa membangkitkan gairah pasar. Sentimen tersebut
adalah rilis data pembacaan awal angkaPurchasing Managers' Index (PMI)
periode Juni di sejumlah negara.
Konsensus Trading Economics memperkirakan PMI manufaktur Australia
pada Juni akan sebesar 49,3. Masih di bawah 50, artinya industriawan belum
optimistis, masih cenderung kontraktif. Namun jauh membaik ketimbang pencapaian
bulan sebelumnya yang sebesar 44, dan sudah kian dekat dengan angka 50.
Kemudian di Jerman, PMI manufaktur Juni diramal sebesar 41,
membaik dibandingkan Mei yakni 36,6. Lalu di Prancis, PMI manufaktur Juni
diperkirakan berada di angka 46, naik dari Mei yang sebesar 40,6.
Jika pembacaan awal ini sesuai dengan ekspektasi pasar, apalagi
kalau sampai melebihi, maka bisa menjadi pelecut semangat bahwa harapan
perbaikan ekonomi tidak hilang sama sekali, hanya tertunda.
Semangat ini bisa menjadi katalis masuknya arus modal asing ke
pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Masih ada
kemungkinan IHSG dkk bisa kembali ke zona hijau.
Artikel ini pernah dimuat di CNBC Indonesia dengan judul HATI-HATI SRI MULYANI, MORGAN STANLEY RAMAL RI BISA RESESI
(Sri W)