Oleh : Th. Dewi
Setyorini, Psikolog
Founder of Rumah
Pemberdayaan, Semarang
Sejak dikenali
serangannya pada bulan Desember 2019 di Kota Wuhan, China, serangan Covid-19
masih belum mendapatkan titik kepastian kapan vaksinnya akan ditemukan. Meski
kabar terakhir berdasarkan informasi dari Gugus Tugas Covid-19 jumlah yang
sembuh jauh lebih besar daripada jumlah yang meninggal, toh pandemi ini belum
dapat dikatakan sudah tertangani. Tentu saja kondisi ini menimbulkan keraguan
terutama saat kita hendak memulai New Normal. Keraguan yang paling besar
terutama dalam bidang pendidikan karena anak-anak termasuk rentan terkena virus
ini.
Perdebatan
muncul sejalan dengan kemungkinan diberlakukannya New Normal di sekolah. Tentu
semua memiliki alasan yang jelas dan terutama karena concern pada kondisi anak-anak. Kesehatan dan keselamatan merekalah
yang utama. Hal ini tentu tak dapat dibantah. Penerapan kembali ke sekolah
tentu dengan berbagai konsekuensi karena pada dasarnya anak-anak masih
memerlukan pengawasan dan belum dapat sepenuhnya memiliki kemandirian untuk patuh
pada aturan serta disiplin yang diterapkan. Fakta inilah yang membuat seluruh stake holder mengalami keraguan dan
kecemasan bagaimana jika kebijakannya sungguh diterapkan.
Di sisi lain,
dua bulan lebih anak-anak tinggal di rumah, belajar dari rumah, dan itu semua
menimbulkan berbagai cerita dengan dinamika yang menarik. Mereka belajar secara
online, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh para guru, dan bersama-sama
dengan orang tua melakukan pembelajaran bersama. Tak semua orang tua mengalami
proses pembelajaran bersama dengan memuaskan dan dengan hati bahagia. Pun
demikian halnya dengan anak-anak. Justru yang terjadi adalah stress, konflik,
frustasi, yang memunculkan perilaku marah, berteriak, menangis, dan ledakan-ledakan
emosi yang tak jarang sulit dikendalikan. Ungkapan-ungkapan, ‘orang tuaku lebih
galak dibanding guruku’ bukanlah sekedar guyonan semata. Namun sebuah fakta yang menunjukkan bahwa seringkali
orang tua tak siap membelajari anaknya di rumah.
Disamping itu
alasan utama lain adalah tak semua orang tua menguasai bidang pelajaran yang
menjadi tugas anak-anak, tak semua orang tua memberikan kepercayaan kepada
anaknya untuk memiliki gadget, pun tak semua orang tua memiliki kecerdasan
teknologi yang memadai, tak semua orang tua melakukan work from home. Tentu dapat dibayangkan bagaimana sisi lain dari
model pembelajaran di rumah. Riuh dan penuh dinamika yang membuat hidup menjadi
lebih berwarna-warni serta memunculkan banyak cerita dan guyonan di berbagai
group whatsapp.
Terkait dengan
penerapan New Normal dalam bidang pendidikan, ada beberapa point yang perlu
diperhatikan :
1. Pendekatan
kesehatan.
Masukan, himbauan, hasil riset, dan pendapat para ahli
kesehatan patut menjadi acuan terutama panduannya dalam protokol kesehatan di bidang
pendidikan. Semuanya sudah jelas dan cukup dapat dipahami untuk dijadikan acuan
bagaimana implementasi di lapangan. Semua stake
holder pendidikan patut mencermati hal ini serta tidak mengabaikannya
begitu saja. Sosialisasi secara terus menerus perlu dilakukan karena tak semua
orang tua, anak, bahkan guru mampu memahaminya dengan jelas. Jauh hari sebelum
anak-anak sekolah perlu dipastikan bahwa mereka sudah paham hingga ke detilnya,
terutama orang tua dan para guru termasuk staf sekolah. Tak lupa tentu
bagaimana penerapan di lapangan akankah sesuai dengan cetak biru yang
digambarkan dalam protokol kesehatannya. Terlebih perbandingan antara guru dan
siswa yang tak jarang lebih banyak siswa, praktek pembagian kelompok perlu
dibuat simulasinya agar jelas tergambarkan hingga kemungkinan titik lemah yang
perlu diantisipasi. Penerapan New Normal untuk anak usia sekolah dasar tentu
tidak semudah penerapannya pada anak remaja karena pemahamannya jauh lebih
baik.
2.
Pendekatan psikologi.
Dalam psikologi perkembangan, anak usia sekolah dasar memiliki
tugas-tugas perkembangan antara lain : bermain untuk mengembangkan ketrampilan
fisiknya, kesempatan berinteraksi dengan lawan jenis; belajar membentuk konsep diri yang positif
sebagai makhluk biologis, sosial, dan beragama; belajar bergaul dengan teman
sebaya; mengembangkan kemandirian; serta mengembangkan kata hati. Melihat
tugas-tugas perkembangan yang dimiliki anak-anak ini, maka dapat kita pahami
bahwa tugas kita sebagai orang tua menyediakan media yang memberi
kesempatan mereka untuk tumbuh dan
berkembang menjadi pribadi yang sehat.
Terkait dengan situasi saat ini tentunya anak-anak tidak
lagi memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi dirinya lebih maksimal.
Pembatasan sosial dan juga pembelajaran di rumah yang kemungkinan akan
diterapkan dapat membatasi perkembangan psikologis anak. Namun demikian kita
tak perlu pesimis. Dasar bermain dan mengembangkan diri masih dapat dilakukan
dalam kapasitas yang terbatas dengan memberikan stimulasi di rumah dengan
berbagai kegiatan yang memang dapat dirancang atas rekomendasi guru. Tantangan
pembelajaran dalam bentuk penyusunan kurikulum yang fleksibel tanpa mengurangi
kesempatan anak untuk mengembangkan diri tentu perlu dipikirkan dengan lebih
serius.Boleh dikata tak semua sekolah, tak semua guru memiliki kesiapan yang
sama untuk menerapkan pola pembelajaran model baru dengan mendasarkan pada
aspek teknologi. Pun kurikulum yang belum tersusun sesuai dengan kondisi yang
ada. Hal ini adalah fakta yang tak perlu dijadikan perdebatan namun perlu
didiskusikan demi mendapatkan pola paling ideal.
Dalam situasi
saat ini, maka keterlibatan masyarakat menjadi hal penting. Peran serta dan
partisipasi masyarakat dapat ditumbuhkan untuk menyediakan pusat kegiatan
belajar terbatas untuk memediasi perkembangan psikologis anak. Tentu dengan
tetap mengacu pada protokol kesehatan yang ada.
Model-model
pembelajaran masyarakat dalam skala terbatas dapat menjadi satu pilihan. Dalam
hal ini, kElurahan atau kecamatan dapat bekerja sama dengan relawan
sosial atau melibatkan ibu-ibu PKK untuk membuat kelas-kelas kecil dengan
jumlah terbatas tak lebih dari enam anak dapat menjadi pertimbangan untuk
memberikan kesempatan anak mengekspresikan emosi dan kreativitasnya.
Disamping itu mereka tetap dapat
menjalin relasi dengan temannya yang lain tentu dengan pengawasan ketat. Model
ini sekaligus dapat menjadi media pembelajaran anak untuk menerapkan pola hidup
mengacu pada protokol kesehatan yang ada.
Anak-anak
sudah rindu sekolah dan rindu bermain bertemu teman yang lain. Terlalu lama di
rumah juga tak akan cukup sehat untuk anak-anak meski fasilitas teknologi tetap
memungkinkan mereka terhubung dengan temannya yang lain. Namun inti
keterhubungan ini bukan dalam konsep dunia maya karena sejatinya dunia maya
memiliki dinamika yang berbeda dengan dunia riil. Tak jarang orang tua
mencemaskan, tugas-tugas online justru akan membuat anak lebih asyik bermain
game, atau memelototi gadgetnya sepanjang waktu. Cepat atau lambat ini akan
menjadi persoalan serius di kemudian hari. Sebelum semua terlambat, memikirkan
dari sekarang bagaimana menyiasati persoalan ini bersama-sama akan memberikan
jalan keluar yang ideal bagi anak-anak kita.