Oleh
: Pudjo Rahayu Risan
Pandemi Covid-19 yang
melanda secara global sampai saat ini masih berlangsung dan sulit diprediksi
kapan berakhirnya. Kenyataan dan fakta inilah, suka atau tidak suka Covid-19
memang harus dihadapi. Harus dikelola dengan baik. Negara harus hadir.
Melindung segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dari
berbagai krisis akibat Covid-19.
Pemerintah sebagai
eksekutif penyelenggara Negara mendapat peran dan tanggung jawab berada pada
posisi paling depan disamping fungsi dan posisi legislative dan yudikatif.
Dengan demikian adminsitrasi pemerintah harus siap menjawab mewabahnya
Covid-19. Sesungguhnya adminitrasi pemerintahan termasuk didalamnya adalah
manajemen pemerintahan mencakup pekerjaan pelayanan, pengawasan dan
pengendalian dari kegiatan masyarakat.
Administrasi
pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan atau tindakan
oleh badan dan atau pejabat
pemerintahan. Dimana fungsi pemerintahan adalah fungsi dalam
melaksanakan administrasi pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan,
pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan.
Sekalipun UUD 1945
secara jelas merupakan pembatas bagi lingkup dan kedalaman fungsi Administrasi
Negara, agar tidak mengarah ke etatisme,
namun perilaku administrasi tertentu tidak jarang menimbulkan kerugian bagi
anggota masyarakat. Dimana etatisme
adalah suatu paham dalam pemikiran politik yang menjadikan negara dalam hal ini
pemerintah sebagai pusat segala kekuasaan.
Negara adalah sumbu
yang menggerakkan seluruh elemen politik dalam suatu jalinan rasional, yang
dikontrol secara ketat dengan menggunakan instrumen kekuasaan. Terlebih-lebih,
disadari pula adanya kenyataan bahwa Administrasi Negara secara internal masih
mengidap berbagai kelemahan, kendala dan hambatan tertentu. Bahkan secara
politis perilaku administrasi yang merugikan masyarakat tersebut dapat berakar
pada kekuasaan Administrasi Negara yang kurang tertandingi oleh
kekuatan-kekuatan politik lain. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari peran
kepolitikan Administrasi Negara dalam masyarakat.
Berangkat dari hal
tersebut, pemerintah dewasa ini ketika menghadapi Covid-19 harus penuh
kehati-hatian dalam mengambil kebijakan. Suka atau tidak suka pemerintah baik
pusat maupun daerah, provinsi dan kabupaten/kota, walau dilematis ketika
mengambil kebijakan publik harus mengambil langkah ini. Diam saja itu sudah
termasuk kebijakan.
Kebijakan
publik
Apa syarat sebuah
kebijakan publik yang baik ? Paling tidak ada tiga acuan untuk menentukan
sebuah kebijakan publik yang baik, pertama dirancang sesuai dengan kerangka
acuan dan teori yang kuat. Kedua, disusun korelasi yang jelas antara kebijakan
dan implementasinya dan ketiga ditetapkan adanya organisasi yang mengkoordinir
pelaksanaan kebijakan sehingga proses implementasi dapat berjalan dengan baik.
Disinilah hambatan akan
selalu muncul pada aspek adanya korelasi yang jelas antara kebijakan dan
implementasinya serta ketika menetapkan organisasi yang mengkoordinir
pelaksanaan kebijakan, sehingga proses implementasi dapat berjalan dengan baik.
Mengapa hambatan selalu muncul pada tahapan ini ? Karena harus ada langkah untuk menterjemahkan
dari kebijakan publik yang masuk kategori kebijakan politik menjadi kebijakan
manajemen. Sebab selama masih berupa kebijakan publik atau bisa disebut
kebijakan politik tidak diterjemahkan menjadi kebijakan manajemen maka tidak
bisa diimplementasikan.
Pada tataran kebijakan
manajemen, sekaligus menyangkut hal-hal seperti tidak merugikan siapapun,
kalaupun ada yang di rugikan, jumlahnya dapat diminimalisir. Memiliki tujuan
untuk memajukan atau mendukung perkembangan. Memiliki tujuan jangka panjang dan
dapat diterima orang banyak. Kebijakan publiK tersebut dibuat oleh pemerintah
baik pusat maupun daerah rujukannya
menyangkut kepentingan bersama, adanya keterlibatan aparat pemerintah dan
bersifat umum, penting untuk menangani suatu masalah yaitu Covid-19.
Diskresi
Contoh kebijakan publik
(tataran konsep) yang harus diterjemahkan menjadikebijakan manajemen (tataran
operasional), seperti pemerintah mengambil kebijakan publik berupa menetapkan
Bencana Nasional, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), larangan mudik,
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM), belajar dari rumah, bekerja dari rumah,
ibadah di rumah, di rumah aja, cuci tangan, pakai masker, social distance, jaga jarak, new normal dan masih banyak contoh
lain.
Siapa yang
menterjemahkan kebijakan publik menjadi kebijakan manajemen ? Ketika kebijakan
publik diambil oleh Presiden maka berlaku secara nasional. Penterjemah
ditingkat nasional oleh kementrian dan lembaga tingkat nasional. Ditingkat
nasional ini yang secara operasional sekaligus menterjemahkan adalah pimpinan
tertinggi di kementrian atau lembaga tersebut. Di kementrian diterjemahkan oleh
Sekretaris Jendral beserta jajaran lainnya sampai ke tingkat bawah.
Untuk daerah
masing-masing kepala daerah, gubernur, bupati dan walikota menterjemahkan
kebijakan publik nasional yang diterjemahkan implementasinya oleh Sekda dan
jajarannya. Bisa juga kebijakan publik diambil oleh Menteri, Gubernur, Bupati
dan Walikota. Masing-masing Sekretaris Jendral dan Sekretaris Daerah harus
menterjemahkan menjadi kebijakan manajemen.
Karena masing-masing
daerah memiliki karakter yang berbeda dimungkinkan gubernur, bupati dan
walikota juga lazim membuat kebijakan publik untuk wilayahnya. Pada tataran
menterjemahkan kebijakan publik menjadi kebijakan manajemen ada beberapa hal
yang harus disiapkan. Persiapannya adalah, 5M. M pertama, man atau SDM; M kedua, Money
atau dana; M ketiga Method atau
metode atau strategi; M keempat, matrial,
logistic atau infrastruktur dan; M
kelima, minute atau durasi waktu.
Masih ditindaklanjuti
tentang aspek SDM agar bisa dioperasionalkan, siapa, melakukan apa, kerjasama
dengan siapa dan bertanggung jawab kepada siapa. Aspek dana juga sangat perlu
dipersiapkan dengan baik. Wabah Covid-19 sangat mengagetkan dari aspek anggaran
yang telah ditetapkan tiba-tiba harus ada relokasi, mengalihkan dana untuk
kepentingan penanganan Covid-19 baik untuk krisis kesehatan maupun krisis
ekonomi. Tidak kalah penting aspek-aspek metodologi, bagaimana cara menangani
Orang Dengan Pengawasan (ODP), Pasien Dengan Pengawasan (PDP) dan Orang Tanpa
Gejala (OTG), matrial kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) dan waktu yang terus
kejar-kejaran dengan wabah Covid-19.
Dari tataran
implementasi agar bisa lancar, ada satu langkah yang sulit dihindari adalah mengambil langkah diskresi. Semua pejabat pemerintahan di
Pusat dan Daerah harus memahami substansi Undang-Undang No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan agar bisa terhindar dari jerat tindak pidana
korupsi. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah memuat pedoman dan
langkah-langkah yang harus dipenuhi seorang pejabat pemerintahan ketika hendak
mengambil keputusan atau kebijakan publik termasuk mengambil diskresi. Dengan mengikuti panduan yang
diatur dalam Undang-Undang tersebut, seorang pejabat bisa terhindar dari
penyalahgunaan wewenang.
Pemahaman yang baik
para pejabat terhadap UU Administrasi Pemerintahan adalah cara mempersiapkan
payung perlindungan baik bagi personil pejabat tertentu maupun bagi
penyelenggara pemerintahan secara umum. Pejabat dituntut agar mengetahui kapan
bisa membuat diskresi, dan apa saja
yang harus ditempuh ketika hendak membuat diskresi
itu. Hal ini perlu mengingat pejabat pemerintah baik ditingkat pusat maupun
daerah dimungkinkan mengambil langkah diskresi
dengan harapan tidak terjadi stagnan,
kemandegan.
Diskresi
adalah
keputusan atau tindakan yang ditetapkan atau dilakukan pejabat pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak
mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan.
Berdasarkan UU
Administrasi Pemerintahan, setiap pejabat pemerintahan yang berwenang dapat
melakukan diskresi. Pasal 24 UU ini memberikan syarat yang harus dipenuhi
ketika hendak melakukan diskresi. Suatu diskresi bisa berimplikasi hukum
melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, atau tindakan sewenang-wenang.
(Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan
Publik, pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng.