Oleh: Theresia Dewi Setyorini
Founder Rumah Pemberdayaan, Tembalang
Hari-hari terakhir ini kita disuguhi oleh banyak berita
sedih. Berita ini berseliweran dalam lini massa yang hampir tiap menit tersaji.
Kita pun baca dan baca mungkin berulang dan berulang untuk kemudian kita share
kepada orang lain. Jadilah dari satu pembaca ke pembaca lain mengkonsumsi
berita itu, demikian untuk seterusnya. Akhirnya berita sedih itu pun menyebar
ke berbagai arah tanpa dapat dikendalikan. Sama seperti virus Covid-19 yang
terus bergerilya menyerang dan mematikan siapapun yang sedikit saja lena.
Tak semua orang mampu mencerna secara cerdas dengan
analisa kritis dan dengan bijaksana mengambil satu keputusan untuk terpengaruh
atau tidak terpengaruh terhadap berita itu. Dalam situasi saat ini, ketika
sandang pangan tergerus sedikit demi sedikit atau bahkan secara penuh,
kebebasan fisik terbatas karena prosedur kesehatan yang diterapkan, yang mengakibatkan orang menjadi berjarak
untuk bertatap muka, perlahan menumbangkan batas-batas daya tahan orang. Dalam
masyarakat komunal yang silaturahmi menjadi inti kekerabatan yang melekat dan
jati diri yang terpupuk, kini dipaksa tercerabut dari akarnya. Sesaat kita
kehilangan arah dan kemasgulan menyerang.
Pada saat pegangan tak didapat, kepastian tak digenggam,
kemana langkah diri akan menuju? Perlahan namun pasti gambaran kabur akan masa
depan mulai tersaji, sedikit demi sedikit, dan lama-lama menjadi mimpi buruk
yang terus menggempur tanpa ampun. Sesaat orang menjadi limbung dan menaruh
harap, pundak tempat berbagi dan telinga tempat mendengar. Apakah itu cukup?
Tidak. Yang dibutuhkan adalah kepastian karena manusia sejatinya mengukuhi
kepastian dan mendakunya sebagai obat mujarab untuk semua akar persoalan yang
disebut kecemasan. Adakah yang mampu memberikan kepastian di saat diri sendiri
tak mampu menggenggam kepastian itu?
Pundak itu akan makin berat terasa tatkala dunia masih
terus berputar tanpa pernah peduli apakah kita akan berhenti, melambat, atau
mundur. Karena pada hakekatnya, kehidupan akan terus bergulir entah kita siap
atau tak siap. Pergulatan manusia sejatinya tak pernah sekalipun berhenti, suka
atau tak suka, keputusasaan tak ada tempat dalam perjuangan manusia yang tak
pernah akan berhenti. Dalam hakekat kemanusian yang paling primitif,
keputusasaan adalah keniscayaan yang tak akan pernah dapat dienyahkan.
Keputusasaan adalah buah dari inferioritas
manusia sebagai makhluk berakal budi yang tak dianugerahi senjata untuk
bertahan layaknya binatang. Anugerah adi luhung manusia sebagai ciptaan
paling sempurna hanyalah akal budi. Itulah senjata pamungkas maha karya Sang
Pencipta alam semesta yang melekat dalam diri manusia sejak ia menetas dalam
garba bundanya.
Keputusasaan terjadi, saat jiwa terbelah antara asa dan
putus. Ketakmampuan untuk menarik benang
dari keduanyalah yang membuat jiwa itu serasa bagai sebuah kapas yang terbang
tertiup angin. Keputusasaan ibarat layang putus, bergerak tak tentu arah.
Terbang diterpa angin dan terus melaju mencari tempat dimana ia akan terhenti.
Angin tak selamanya membawa layang itu ke angkasa. Ada saat dimana layang itu
akan terjatuh, diam, atau tersangkut. Keputusasaan membuhul saat kita biarkan kecemasan merajai
diri dan membungkam nurani. Menutup akal budi dan menjadikan kita lebih rendah
dari segala makhluk yang ada.
Hidup ini adalah sebuah keputusan yang harus diambil. Keputusannya
adalah terus maju. Sesedikit apapun, langkah itu harus terus kita tapak. Jika
sesaat terhenti, atau mundur, maka teruslah melaju. Perlahan pun tak mengapa
karena keseimbangan hidup hanya terjadi saat kita bergerak. Ibarat menaiki
sepeda, hanya akan tegak berjalan jika kita kayuh. Sesekali oleng dan sesekali
berayun. Itulah irama hidup yang akan terus mengiringi langkah mengganjur
kehidupan. Jangan abaikan keputusasaan
namun jangan pula menjadikannya mata angin. Biarkanlah ia ada, sebagai sebuah
peringatan akan kerentanan diri sebagai manusia. Raihlah dan jadikan sebagai
lecut dan cambuk yang akan membuka cakrawala kreativitas tanpa batas.
Tak perlu mengingkari keputusasaan karena sejatinya ia
mengingatkan kita pada nas sebagai manusia yang fana.
Rengkuh dengan segala kesadaran diri dan biarkan ia bermetamorfosis menjadikan
kita lebih kuat dan lebih kuat. Tajamkan telinga, asahlah perasaannya. Pusatkan
perhatian dan camkan kata hati. Keputusasaan akan mengarahkan kita pada takdir
hidup sebagai manusia yang tak akan mengenal kata berhenti. Terus dan terus
bergerak, jangan pernah berhenti. Sejengkal akan sangat berarti. Sejenak diam
dan milikilah asa. Asa ibarat lilin dalam gelap yang akan menuntun kita
melewati pekatnya malam, menghangatkan di kala dingin, menjadi penanda bahwa
hidup itu perlu dituntun dan diarahkan. Jangan abaikan orang lain karena hidup
tak mungkin sendiri.
Dalam segalanya, keputusasaan melahirkan manusia kuat dan
digdaya, manusia pejuang yang berjuang di bawah bayang malam dengan terang
bulan yang sayup. Pahlawan-pahlawan yang pantang menyerah karena masih
menghargai artinya hidup dan menantang batas-batas diri sebagai manusia.
Kesejatian manusia hanya terjadi saat memenangkan peperangan atas nama
keputusasaan. Itulah hakekat manusia sejati, memenangkan laga keputusasaan
dalam berbagai versinya. Keputusasaan adalah keniscayaan yang tak perlu
ditelikung. Hanya perlu direngkuh karena akan menjadikan kesejatian atas nama
kemanusiaan sejati.
Semarang, 21/05/2020