Oleh : Pudjo Rahayu Risan
Presiden Joko Widodo menyatakan melarang mudik lebaran pada
Hari Raya Idul Fitri 1441 H/2020 bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini
dilakukan demi menekan penyebaran Covid-19 ke banyak daerah. Sebelumnya, Jokowi
hanya melarang mudik untuk aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, dan
TNI-Polri. "Mudik semuanya akan kita larang," ujar Jokowi membuka
ratas di Istana Presiden yang disiarkan langsung lewat akun YouTube Setpres, Selasa (21/4/2020).
Berat. Memang berat, meniadakan mudik lebaran. Mudik
merupakan gejala atau fenomena sosial yang rutin setiap tahun terjadi. Momentum
mudik erat kaitannya dengan Hari Raya Idul Fitri atau lebih akrab disebut
lebaran. Mudik lebaran sudah menjadi tradisi dan dampaknya melibatkan semua
unsur kehidupan baik lintas etnis dan agama. Bukan lagi fenomen semata-mata
keagamaan tapi sudah merupakan tradisi yang membudaya. Dampak dari mudik
menimbulkan multiplier effect bagaikan
efek domino.
Dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang ada di kota besar
menjadikan salah satu faktor bertambahnya penduduk. Warga kota yang sebagian
besar merupakan pendatang melakukan aktivitas mudik pada kesempatan tertentu
yang bersifat spiritual dan kultural. Namun dengan perkembangan jaman mobilitas atau migrasi dari daerah ke
daerah lain dari kota satu ke kota lain karena profesi atau pekerjaan
menjadikan mereka juga melakukan mudik ke asal daerah masing-masing. Peta mudik
menjadi merata, baik dari kota besar ke desa atau dari kota ke kota lain.
Orang kerja di Jakarta asal Semarang, pulang ke Semarang.
Orang kerja di Makassar asal Jakarta pulang ke Jakarta. Hal ini menambah
mobilitas antar penduduk semakin tinggi jumlah dan frekuensi tidak sekadar dari
kota besar pulang ke kampung atau desanya. Namun masih tetap didominasi dari
kota-kota besar berbondong-bondong pulang ke daerah asal. Ini menggambarkan
bahwa mobilitas masyarakat menjadi tinggi, konsekuensi akan berdampak
multidimensional.
Fenomena mudik lebaran bisa ditinjau dari aspek sosiologis,
psikologis dan antropologis. Pulang mudik seakan akan pulang dari medan laga
peperangan. Ada kebanggan tersendiri. Menunjukkan keberhasilan ditengah-tengah
keluarga dan masyarakat. Untuk mendukung tidak segan-segan menampilkan “kemewahan”.
Bila perlu rental kendaraan untuk menunjang penampilan.
Pulang mudik juga bermakna untuk silaturahmi. Hasil kerja
setahun tidak masalah dihabiskan dan kembali ke profesinya setahun kedepan
untuk cari uang. Tidak lupa juga makna mudik untuk berziarah ke makam kerabat
dan leluhurnya. Maka, berdesak-desakan di moda transportasi umum bukan
merupakan rintangan. Macet berjam-jam dan ongkos pulang pergi tidak jadi
masalah.
Sejarah mencatat tahun 2020 pada Hari Raya Idul Fitri 1441 H,
Pemerintah melarang mudik lebaran bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini
dilakukan demi menekan penyebaran Covid-19 ke banyak daerah, menyusul larangan
mudik untuk aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, dan TNI-Polri.
Mudik rentan membawa
virus Corona
Tahun ini, karena wabah Covid-19 melarang untuk tidak mudik
agar mata rantai penyebaran virus corona terputus tidak menyebar kemana-mana.
Namun begitu beberapa waktu yang lalu sudah banyak masyarakat mendahului mudik,
yang terkenal dengan istilah baru, “mudik
premature”. Mudik lebih awal, dikarenakan anjuran di rumah saja tetapi
penghasilan menurun bahkan hilang sama sekali, memancing untuk pulang kampung
dengan segala risiko.Tampaknya “mudik
premature” ini dari hasil survei Kemenhub yang tidak mudik 68 persen, yang
tetap mudik 24 persen, yang sudah mudik 7 persen. Artinya masih ada angka yang
sangat besar yaitu 24 persen tetap ingin mudik. Jumlah yang masih sangat besar
untuk tetap berkeinginan mudik berisiko sangat tinggi akan berdampak terhadap
penyebaran virus corona semakin menyebar segala penjuru. Inilah yang menjadi
penyebab mudik kemanapun sangat rentan dengan penyebaran virus corona.
Apalagi bagi yang menggunakan sektor transportasi umum
layaknya bus, kereta api, kapal laut, hingga pesawat terbang. Bahkan bicara
mudik, sudah terjadi “mudik premature”
mudik lebih awal tanpa terkendali dan terdeteksi sangat rentan penyebaran
Covid-19. Tidak heran bila daerah-daerah tujuan
merasa kecolongan dan akhirnya membuat repot, mereka sudah curi start
mudik yang jumlahnya cukup besar, 900 ribu lebih bahkan mendekati angka sejuta
karena banyak yang lolos menggunakan kendaraan pribadi. Bahkan sehari sebelum
secara resmi larangan mudik diberlakukan 24 April 2020, tampak banyak
masyarakat dengan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat buru-buru
mudik.
Sisi positif tradisi
mudik
Dari aspek ekonomi, paling tidak ada tiga esensi ekonomi dari
tradisi mudik lebaran yang berlanjut ke aktivitas kembali balik merantau ke
kota. Peluang pemerintah untuk mengoptimalisasi mengelola tradisi mudik secara
baik akan memberi manfaat besar terhadap ekonomi nasional.
Tiga esensi tersebut, pertama,
aktivitas mudik itu sendiri termasuk pulang kembali akan menciptakan perputaran
uang yang begitu besar, cepat dan riil.
Puluhan triliun rupiah berpindah tangan dari kota ke kota, dari kota ke
desa-desa dan sampai ke pelosok perkampungan. Puluhan triliun rupiah tentu,
secara agregat, nilai uang bukan hanya berbentuk tunai, bisa juga berupa barang
elektronik, pakaian, bahan makanan, minuman, dan berbagai barang kebutuhan
lainnya.
Dari kacamata pendekatan teori ekonomi, gejala seperti ini
disebut sebagai redistribusi ekonomi atau redistribusi kekayaan. Perpindahan
kekayaan, barang dan uang dari satu daerah ke daerah lainnya atau dari satu
individu ke individu lain. Fakta ini menunjukkan bahwa tradisi mudik memang
terbuka untuk menciptakan redistribusi ekonomi dari kota besar, seperti Jakarta
ke daerah-daerah yang pada gilirannya bisa menstimulasi aktivitas produktif
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah. Pada kondisi ini bisa juga
meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan daerah kepada
pusat.
Kedua, tradisi mudik berpengaruh positif
pada keberadaan infrastruktur. Hampir pasti program pemerintah menghadapi mudik
memperbaiki dan menambah kondisi infrastruktur yang ada, mulai dari pembangunan
jalan darat, rel kereta api, jembatan, bandar udara, hingga pelabuhan laut. Hal
ini sangat positif untuk sektor infrastruktur itu sendiri san kenyamanan serta keselamatan
sekaligus mampu menyerap anggaran secara optimal.
Ketiga, aktivitas mudik lebaran juga menjadi salah satu
faktor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional, yakni melalui peningkatan
konsumsi. Ini terjadi karena begitu besarnya volume pemudik yang mencapai
puluhan juta orang, sehingga nilai konsumsi agregat yang dihasilkan pun akan
sangat besar, mencapai ratusan triliun rupiah. Jenis konsumsi yang cukup besar
menjelang mudik biasanya berupa pembelian motor, mobil, bahan makanan, pakaian,
dan biaya komunikasi.
Pada hakikatnya, mudik lebaran tetap mempunyai pengaruh
positif, baik bagi pertumbuhan ekonomi regional maupun nasional. Apalagi, bila
dikelola secara lebih baik, niscaya potensi manfaat dan nilai tambah tradisi
mudik ini akan jauh lebih besar dari selama ini. Dari dampak ekonomi yang
ditimbulkan, lebaran tak hanya berarti leburan atau saling memaafkan, tetapi
juga bisa bermakna luberan. Artinya, karena berkelebihan maka dapat berbagi ke
sanak saudara yang lain, membagikan uang atau terjadi distribusi pendapatan.
Fakta lain menunjukkan bahwa mudik lebaran tidak hanya
didominasi oleh kaum Muslim saja, namun juga umat agama lain. Kita semua
memanfaatkan momentum ini sebagai ajang untuk bertemu dengan sanak keluarga dan
kerabat di kampung halaman.
Dari kacamata hubungan sosial, tradisi mudik bisa
diterjemahkan sebagai media untuk menjaga tali persaudaraan dan mempererat
hubungan antara masyarakat urban-rural, baik dalam format horizontal maupun
vertikal. Hubungan horizontal terjadi antara sesama teman, kerabat, ataupun
sanak saudara. Hubungan format vertikal terjalin antara orangtua dan anak-anak,
atau antara yang lebih tua dan yang muda. Dalam dimensi sosial, tradisi mudik
berarti bisa menjadi budaya positif untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sisi kerugian larangan mudik
Kerugian larangan mudik dari aspek lain disamping penyebaran
Covid-19, moda transportasi paling babak belur, Perusahaan Otobis (PO) bisa
merugi puluhan triliun rupiah. Bisnis transportasi ini yang paling terasa
dengan dilarangnnya mudik. Kerugian yang ditanggung oleh perusahaan penyedia
jasa angkutan umum bakan berlipat kali karena sejak beberapa waktu lalu mereka
baik angkutan darat seperti kereta api, bus, travel, rental telah menyiapkan
menghadapi mudik lebaran. Investasi mereka nilainya tidak kecil dan hasil
pinjaman. Begitu pula dengan maskapai penerbangan dan angkutan laut.
Sanksi dan konsekuensi
Kementerian Perhubungan sudah mulai menggarap aturan
setingkat Peraturan Menteri untuk mengatur jalannya transportasi saat
pelarangan mudik. Dalam aturan ini, bagi yang masih nekat mudik bakal kena
sanksi. Untuk sanksinya akan berpatokan pada UU no 6 tahun 2018 soal
Kekarantinaan Kesehatan. Nantinya, sanksi akan diberlakukan mulai 7 Mei 2020.
Bila dilihat dari UU no 6 tahun 2018, dalam pasal 93 disebutkan ada hukuman
kurungan paling lama setahun dan denda maksimal hingga Rp 100 juta.
Konsekuensi dari larangan mudik, pemerintah harus memberi
subsidi kepada masyarakat yang urung mudik. Senada dengan hal tersebut, Jokowi
minta Mensos menyiapkan skema bantuan sosial sebagai insentif agar warga dari
DKI Jakarta tidak mudik.
(Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, pengurus
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang, pengajar tidak tetap STIE
Semarang dan STIE BPD Jateng. HP 081 22 86 06 56)