Jakarta – Diduga Ketua DPRD Banyuwangi, I Made Cahyana Negara merestui adanya praktek pungli (pungutan liar) di Pelabuhan Ketapang. Kasus dugaan pungutan liar yang diduga melibatkan Ketua DPRD Banyuwangi telah banyak mengundang reaksi dari berbagai pihak. Wilson Lalengke S.Pd, M.Sc, MA, lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 menyatakan keprihatinannya atas kasus tersebut.
Lebih lanjut Wilson meminta agar kasus tersebut diusut
hinggatuntas oleh pihak yang punya kewenangan. Menurutnya pungli adalah salah satu
penyakit masyarakat dan birokrat yang disejajarkan dengan perilaku korupsi dan
pemerasan. Untuk menangani dan membasmi praktek pungutan liar pemerintah
telahmembentuk Saberpungli. Tindakan pungli jelas-jelas merugikan keuangan Negara
yang berakibat menghambat pembangunan bangsa dan menimbulkanekonomi biaya
tinggi.
“Pemerintah sejak beberapa tahun lalu telah membentuk Team
Saberpungli (Sapu Bersih Pungutan Liar) dengan tujuan memberantas praktek
pungli ini. Lah, di Banyuwangi praktek pungli malah direstui DPRD-nya? Aneh
sekali itu. Team Saberpungli harus berani menyelidiki dan memeriksa Ketua DPRD
Banyuwangi, dan bila benar yang bersangkutan memberi restu kepada pihak
tertentu untuk melakukan pungli, maka yang bersangkutan harus diberikan sanksi
tegas,” ujar Wilson yang juga merupakan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga
Indonesia (PPWI).
Sebagaimana diketahui, dalam beberapa hari terakhir santer
diberitakan di berbagai media tentang maraknya dugaan praktek pungutan liar
(pungli) terhadap pengemudi truk di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur.
Para pengemudi truk merasa keberatan atas pembayaran tiket jeramba sebesar Rp.
4.000 (empat ribu rupiah) setiap kali masuk kapal untuk menyebrang ke Pelabuhan
Gilimanuk, Bali. Menurut para pengemudi truk, mereka sudah membeli tiket yang
ada kode barcodenya di loket PT. ASDP sesuai tarif golongan kendaraan
masing-masing, yang telah disediakan sesuai aturan dari pihak PT. ASDP.
"Tapi kok masih ada lagi pembayaran tiket tambahan yang
harus dibayar oleh pihak pengemudi truk di saat truk mau masuk ke dalam
kapal?" aku salah satu sopir truk mempertanyakan dan minta namanya
dirahasiakan, Kamis, 26/03/2020.
Menurut sang sumber informasi ini, para pelaku pungli itu
bahkan mengejar pengemudi truk hingga ke dalam kapal. Hal itu sering
menimbulkan cekcok mulut antara pengemudi dengan pelaku pungli. Pengemudi
bersihkeras beralasan bahwa mereka sudah membayar kewajibanya sebagai pengguna
jasa pelayaran sesuai tiket resmi yang ditetapkan pengelola pelabuhan.
Informasi yang dihimpun pewarta media ini, ternyata yang
melakukan pungutan liar tersebut diduga adalah
salah satu asosiasi yang bernama Serikat Pekerja Jasa Pelabuhan (SPJP) yang
dipimpin oleh Jamhari selaku ketua. SPJP ini beranggotakan 48 orang. Informasi
tersebut dikonfirmasi oleh I Made Cahyana Negara, selaku Dewan pembina SPJP,
pada Senin malam (06/04/2020).
Menurut pengakuan Jamhari, ia mengatakan bahwa dirinya
didampingi I Made Cahyana Negara, seorang anggota (Ketua – red) DPRD Banyuwangi,
sebagai Dewan Pembina. “Saya didampingi Pak Made sebagai dewan pembina. Beliau
selaku pembina di asosiasi yang saya pimpin yaitu salah satu anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banyuwangi (DPRD)," kata Jamhari, 27
Maret 2020.
Termasuk dalam jajaran pengurus SPJP, kata Jamhari, antara
lain Kepala Desa Ketapang dan para pekerja jasa pelabuhan. Pihak asosiasi
setiap bulannya memberikan kontribusi ke Kepala Desa Ketapang sebesar Rp.
300.000 (tiga ratus ribu rupiah).
Pewarta media ini selanjutnya menghubungi Dewan Pembina
asosiasi tersebut, I Made Cahyana Negara, melalui telepon, Jum’at, 17/04/20.
Made menjelaskan bahwa memang benar tiket jeramba yang dikeluarkan asosiasi
tersebut tidak ada surat perintah kerja dari pihak PT. ASDP sebagai legalitas
resmi.
Dalam pengakuanya juga menyebutkan selaku Dewan Pembina di
asosiasi, ia berharap bahhwa apabila pungutan liar tersebut
ditiadakan/dihentikan pihaknya sangat setuju. "Saya setuju dihentikan
pungli di Pelabuhan Ketapang, dengan catatan harus ada skema yang jelas dari
pihak PT. ASDP dan dari Gabungan Pengusaha Pelayaran (GPP) untuk menggantikan
penghasilan asosiasi tersebut, supaya pendapatannya legal,“ jelas I Made.
Dari keterangan dan pengakuan Ketua DPRD itu, menurut Wilson,
sang Ketua Dewan ini mengetahui dan merestui adanya praktek pungli yang
dilakukan anggota asosiasi yang dibinanya.
“Dari penuturan Pak Made itu, dapat disimpulkan bahwa dia
mengetahui dan merestui adanya praktek pungli oleh asosiasi binaanya itu.
Bahkan, kesannya dia membela praktek tersebut, walau ada bahasa ia setuju
dihentikan, dengan catatan bla-bla-bla. Frasa ‘dengan catatan’ ini
mengindikasikan bahwa jika tidak ada solusi lain bagi asosiasinya, maka pungli
harus tetap boleh dilakukan,” pungkas lulusan pasca sarjana bidang studi
Applied Ethics dari Utrecht University Belanda dan Linkoping University Swedia
itu.
(Tuyono)
Artikel ini pernah tayang di
suaramedia.id dengan judul Terkait
Pungli di Pelabuhan Ketapang, Alumni Lemhannas: Ketua DPRD Banyuwangi Harus
Diperiksa