Oleh: Wilson Lalengke*)
Jakarta – Menyikapi kondisi penyebaran Virus Corona atau
Covid-19 hari-hari ini, banyak daerah yang sudah menerapkan kebijakan Karantina
Wilayah. Kebijakan tersebut mewajibkan semua warga harus tinggal di rumah (Stay at Home) dan melakukan pekerjaan
dari rumah (Work from Home). Anak
sekolahpun sudah diliburkan hampir dua minggu berjalan, dan mewajibkan para
siswa belajar dari rumah (Online
Learning).
Bagi beberapa kelompok warga, kebijakan lock-down ala Indonesia (baca: karantina biaya mandiri) itu tidak
begitu merepotkan, terutama bagi mereka yang berstatus sebagai pegawai
pemerintah atau pengusaha. Kelompok warga ini, walau di level kepegawaian
rendahan sekalipun, masih memiliki harapan untuk mendapatkan tunjangan
pembiayaan hidup sehari-hari. Minimal dari gaji bulanan mereka.
Namun, bagi sebagian besar rakyat, kebijakan stay at home merupakan sesuatu yang
sangat merisaukan. Karyawan atau buruh pabrik, pedagang kaki lima, dan tukang
ojek adalah beberapa kelompok masyarakat yang hidupnya hanya berharap dari
kerja harian. Uang yang didapat hanya cukup untuk biaya hidup dari hari ke
sehari. Dapat uang hari ini, habis untuk biaya hari ini, kadang tidak cukup.
Kondisi itu merupakan situasi yang dihadapi ratusan ribu
jurnalis se-Indonesia. Kehidupan mereka juga amat memprihatinkan, hidup sehari
ke sehari dengan pendapatan yang seadanya. Wartawan Indonesia adalah salah satu
kelompok rakyat yang selama ini terabaikan di negerinya sendiri. Taraf
perekonomian kebanyakan para jurnalis tergolong berada di bawah garis
pra-sejahtera (untuk tidak mengatakan garis kemiskinan).
Terdapat beberapa faktor yang membuat kesejahteraan para
jurnalis di tanah air sulit beranjak naik. Jangankan untuk menabung, pendapatan
sehari-hari saja hanya cukup untuk biaya keseharian keluarganya. Jikapun ada
wartawan yang sejahtera, umumnya mereka adalah pemilik media atau jurnalis yang
mempunyai bisnis di luar jurnalistik.
Beberapa perusahaan media yang memiliki ribuan wartawan,
sebutlah Kompas sebagai contoh, dapat memberikan penghasilan yang hampir
memadai bagi wartawannya. Perusahaan media nasional itu memiliki beberapa
jaringan bisnis non-jurnalitik, seperti properti, perhotelan, hingga perkebunan
dan pertambangan. Hal tersebut menjadikan Kompas dapat bertahan di tengah
gelombang dasyat kemajuan media online yang tidak dapat dimonopoli oleh media
tertentu saja.
Walaupun begitu, pola pemberian gaji bagi para wartawan media
nasional sebesar Kompas, tidaklah sama alias tidak merata bagi ribuan
wartawannya itu. Kinerja sang wartawan amat menentukan penghasilan yang
bersangkutan. Dengan kebijakan media besar seperti ini, tentunya masih
menyisakan banyak rekan wartawannya yang hidup pas-pasan, dapat sehari, habis
sehari.
Jika kondisi kalangan jurnalis yang bekerja di media-media
besar, yang mempunyai jaringan bisnis beromset miliaran hingga triliunan, masih
cukup memprihatinkan, maka dapat dibayangkan kehidupan para jurnalis di
daerah-daerah yang hanya bermodal idealisme dan semangat empat-lima. Bekerja
dengan bermodal sebuah android untuk merekam hasil wawancara sekaligus
mengambil foto sang narasumber dan obyek berita, tentunya tidak akan memberikan
hasil (pendapatan) yang cukup.
Akibatnya, di saat-saat genting masa karantina seperti
sekarang, kalangan jurnalis merupakan kelompok rakyat yang amat rapuh dari sisi
ekonomi. Sebagian besar mereka tidak memiliki persediaan kebutuhan hidup, tidak
juga memiliki tabungan dana yang memadai untuk menjalani masa stay at home, walau untuk beberapa hari
sahaja. Jika sang wartawan memiliki keluarga dengan jumlah anak yang cukup
banyak, semisal 3 atau 4 orang, tentunya menjadi beban yang sangat berat
baginya.
Wartawan tidak akan pernah berputus asa, apalagi mengeluh,
terlebih lagi mengemis kepada siapapun. Idealisme seorang wartawan yang selalu
siap untuk hidup menderita merupakan pegangan utama bagi mereka. Jangan pernah
berharap bahwa wartawan akan datang ke pemerintah, baik pusat maupun daerah,
untuk sekedar meminta bantuan. Justru, para jurnalis sejati akan bergerak untuk
menggalang kekuatan dalam mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat. Wartawan
hanya lantang suara ketika memperjuangkan rakyat, tetapi diam seribu bahasa
jika bicara soal nasib-hidupnya sendiri.
Walaupun wartawan diam, janganlah beranggapan mereka kuat dan
mampu bertahan tanpa makan-minum sehari-hari. Wartawan tetaplah manusia. Mereka
butuh asupan makanan untuk tetap bisa hidup. Mereka juga butuh menghidupi
anak-istrinya sebagai bagian dari tanggung jawab kemanusiaannya di keluarganya.
Pemerintah semestinya tidak melupakan kalangan jurnalis
sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang wajib diayomi dan dilindungi
hidupnya. Berikan akses ke sumber-sumber ekonomi yang ada di lingkungan
pemerintah, baik dari alokasi anggaran APBN/APBD maupun bentuk bantuan lainnya.
Pemanfaatan keuangan yang bersumber dari dana CSR (Corporate Social
Responsibility) perusahaan-perusahaan yang ada di daerah masing-masing dapat
dimaksimalkan membantu warga masyarakat terdampak, termasuk kalangan wartawan.
Paling penting dari semua ini adalah bahwa para pengambil
kebijakan di pemerintahan daerah semestinya peka terhadap kebutuhan warganya,
terutama dari kalangan “pendiam” wartawan. Mereka adalah bagian dari tanggung
jawab Anda, karena mereka adalah rakyat Anda. Saya hanya menyuarakan keresahan
ratusan ribu wartawan se-nusantara, yang tidak pernah mereka utarakan, bahkan
kepada sayapun tidak pernah. (*)
*) Penulis adalah Ketua Umum PPWI, Alummni PPRA-48 Lemhannas
RI tahun 2012
*Oijin*