Oleh : Pudjo Rahayu Risan
Presiden Jokowi menegaskan dalam status kedaruratan kesehatan
masyarakat, menghadapi wabah Covid-19, kita pilih Pembatasan Sosial Berskala
Besar hal ini sesuai UU No. 6/2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan. Semoga langkah Presiden
sebagai Kepala Pemerintahan sekaligus Kepala Negara menjadi solusi yang paling
tepat diantara alternatif lain dalam menangani wabah Covid-19. Untuk itu kita
percayakan sepenuhnya kepada pemerintah namun tetap mengkritisi pada tataran
implementasi dengan harapan filosofi dari PP 21/2020 tepat sasaran dan berhasil
dalam rangka upaya percepatan, pencegahan, penanganan, dan kewaspadaan terhadap
penyebaran Covid-19.
PP 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam
rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) mengatur
tentang Pelaksanaan Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan dan dapat dilakukan
oleh Pemerintah Daerah berdasarkan persetujuan Menteri
Kesehatan.
Sebagaimana kita ketahui Covid-19 menjadi Pandemi
Internasional. Covid-19 telah diumumkan oleh WHO, Organisasi
Kesehatan Dunia pada 11 Maret 2020. Artinya negara-negara di seluruh dunia
harus merespon, mencegah serta menangani Pandemi Virus Corona. Pemerintah
menjawab salah satunya dengan PP 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Berbagai negara melakukan LockDown
sebagai salah satu strategi masuk dan keluarnya penduduk untuk membatasi atau
memperlambat gerak pandemi Covid-19 yang dibawa oleh manusia, namun banyak juga
yang tidak melakukan lockdown,
masing-masing negara memiliki strateginya masing-masing. Namun isolasi mandiri,
dan physical distancing (pembatasan
jarak fisik) dilakukan sebagaimana protokol kesehatan covid-19 yang diterbitkan
oleh WHO dan menjadi standar protokol internasional untuk menangani persebaran
virus corona yang menggila karena sikap dan tingkah laku manusia.
PP 21/2020 tentunya diputuskan dengan pertimbangan yang
banyak sesuai kultur negara Indonesia. Kebijakan Lockdown sebagaimana diterapkan di banyak negara, India misalnya
menyebabkan chaos dan permasalahan sosial yang justru mengagetkan. Namun kunci
dari hal ini pembatasan diri dan pergerakan individu warga negara untuk tinggal
di rumah, membatasi frekuensi dan jumlah pertemuan massal untuk kemudian dapat menaklukan
Covid-19. Namun sayang, tingkat kedisiplinan masyarakat kita masih rendah dalam
melakukan physical distancing (pembatasan
jarak fisik). Berkerumun masih gampang dijumpai.
Catatatan kritis
Catatan kritis yang cukup relevan dan layak ditindaklanjuti,
seperti apa yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika
melaporkan situasi dan kondisi penanganan Covid-19 kepada Wakil Presiden Maruf
Amin. Anies Baswedan meminta adanya kebijakan tersendiri bagi Jabodetabek dalam
menangani wabah Covid-19. Rupanya pasal 2 ayat (1) PP 21/2020 yang isinya
dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan,
Pemerintah Daerah dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala
Besar atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi
atau kabupaten/kota tertentu. Pasal dan ayat Inilah yang menghambat sekaligus
menggangu karena DKI Jakarta dikepung oleh kabupaten dan kota yang secara
administrasi pemerintahan tidak ikut DKI Jakarta.
Kabupaten atau kota seperti Bogor, Depok, dan Bekasi secara
administarsi pemerintahan ikut Provinsi Jawa Barat, sedangkan Kabupaten atau
Kota Tangerang serta Tangerang Selatan masuk wilayah Provinsi Banten. Usulan
Anies Baswedang masuk akal, agar ada kebijakan tersendiri untuk kawasan
Jabodetabek, di mana batas-batas administrasi pemerintahan itu berbeda dengan
penyebaran kasus Covid-19 di Jabodetabek. Wilayah yang berdekatan dengan DKI
Jakarta, secara sosiologis bahkan antropologis diakui atau tidak, terutama
masyarakat asli ada irisan keterdekatan. Virus tidak mengenal asministrasi pemerintahan,
tetapi sebagai gubernur hanya bisa mengatur satu provinsi. Padahal epicenter penyebaran
Covid-19 berada di 3 provinsi. Menterjemahkan kebijakan politik menjadi
kebijakan manajemen.
Catatan kritis selanjutnya, ini yang paling rumit mengingat
alur koordinasi dibirokrasi banyak kendala. Persoalan selanjutnya, pada tataran
implementasi harus melalui proses menterjemahkan kebijakan politik menjadi
kebijakan manajemen. Sepanjang belum diterjemahkan, maka kebijakan yang masih
kebijakan politik belum bisa dilaksanakan.Contoh masih dalam tahapan kebijakan
politik bisa dilihat pada Pasal 6 (1) Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala
Besar diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Ini harus
diterjemahkan untuk bisa dioperasionalkan.
Tidak sederhana dan mudah menterjemahkan Pasal 6 (1), maka
konsekuensinya terjadi pelambatan realisasi Pemberlakuan Pembatasan Sosial
Berskala Besar. Ayat (2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan
memperhatikan pertimbangan Ketua PelaksanaGugus Tugas Percepatan Penanganan
Covid-19. Ayat (3) Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19
dapat mengusulkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah
tertentu. Betapa rumit dan butuh waktu.
Konsekuensi dan implikasi pada daerah bisa membingungkan dan
mengambil langkah masing-masing daerah sesuai dengan persepsi mereka, toh
selama ini daerah juga sudah bertindak. Karena pada ayat (4) apabila menteri
yang menyclenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan menyetujui usulan
Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah di wilayah
tertentu wajib melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Menterjemahkan kebijakan politik menjadi kebijakan manajemen
mutlak diperlukan. PP 21/2020 merupakan kebijakan politik harus diterjemahkan
menjadi kebijakan manajemen agar bisa dilaksanakan. Manajemen PSBB harus
disiapkan sebaik mungkin. Sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
evaluasi. Pada tahap perencanaan, menjadi strategis karena perencanaan yang
baik sudah 50% sebagai modal pada tahap berikutnya. Pada perencanaan komponen
yang perlu diperhatikan 5M, Money, Man, Matrial,Method, dan Minute.
Money atau dana seberapa besar dana yang tersedia, berapa
besar yang dibutuhkan, untuk apa saja dengan skala prioritas, dari mana
sumbernya, termasuk sumber dana bantuan pihak ketiga, skema penggunaan dan
payung hukum. Pada posisi ini kecepatan kebijakan fiscal dan moneter dari pusat
sungguh menjadi vital dan strategis. Man atau sumber daya manusia. Dalam
menangani wabah Covid-19 pada program PSBB untuk mencapai tujuannya diperlukan
SDM yang cukup jumlah dan cukup kualitas. Terutama SDM kesehatan, baik dokter,
perawat, tenaga penunjang medis, bahkan pramusaji dan cleaning service sangat
diperlukan. Kendala muncul manakala SDM yang tersedia sangat terbatas baik jumlah
apalagi kualitas tertentu yang memiliki kompetensi.
Disini perlunya merekrut tenaga sukarela. Matrial, seperti
bahan, obat-obatan, logistic, infra struktur, sarana prasarana harus dipersiapkan
dengan baik. Persoalan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis yang paling
berisiko selalu menjadi hambatan yang berarti. Apalagi WHO mengubah kebijakan dan
kini mendukung penggunaan masker untuk semua orang di tengah penyebaran pandemi Covid-19.
Sebelumnya, WHO merekomendasikan penggunaan masker hanya untuk orang sakit dan
orang yang merawat pasien. WHO menyatakan masker bedah harus
disediakan untuk petugas medis, sementara masyarakat bisa
menggunakan masker berbahan kain untuk menutup wajah. Minute, disini
artinya waktu yang terus berburu kejar-kejaran dengan ganasnya Covid-19. Maka
persoalan waktu jangan dianggap enteng.
Langkah selanjutnya perlu pengorganisasian memastikan
kebutuhan manusia dan fisik setiap sumber daya tersedia untuk menjalankan
rencana dan mencapai tujuan yang berhubungan dengan ditetapkannya PSBB. Mengaktualisasi
atau menggerakan bila perencanaan dan pengorganisasian baik dan diikuti dengan
pelaksanaan kerja, maka tujuan dimungkinkan tercapai. Setiap SDM harus bekerja
sesuai dengan tugas, fungsi dan peran, keahlian dan kompetensi masing-masing
SDM untuk mencapai tujuan PSBB.
Terakhir evaluasi, dimana pada tahap eveluasi ada
kecenderungan semua bilang baik-baik saja. Kita sepertinya alergi dengan kritik
ketika di evaluasi. Padahal evaluasi yang obyektif modal untuk menyusun
perencanaan berikutnya.
(Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, pengurus
Asosiasi Ilmun Politik Indonesia (AIPI) Semarang, pengajar tidak tetap STIE Semarang
dan STIE BPD Jat