Permohonan yudicial
review sebagai bentuk eksaminasi dan
partisipasi public atas keputusan (beschikking),
peraturan (regeling) dan Keputusan Hakim (Vonis)
Oleh : Sriyanto Ahmad,
S.Pd, MH, (Med)
Peraturan Menteri PUPR 07/PRT/M/2019
yang selanjutnya disingkat Permen PUPR (7/19)
tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. Permenpupr
7/2019 dalam menyusun kebijakan yang
sangat kental rasa peningkatan terhadap UMKN dan agar ada suatu pemerataan usaha
jasa kontruksi di sektor kualifikasi badan usaha skala kecil (K).
Bahwa tim Kementerian PUPR
pada awalnya menyusun Permen PUPR 7/2019 dengan dua rasa yaitu rasa APBN dan
rasa APBD dengan tujuan memberikan panduan lengkap tidak hanya bagi K/L tapi
juga bagi Pemerintah Daerah (PD). Namun konsep awal ini dikoreksi pada proses
legislasi karena ada pasal 86 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) yang sudah membagi kewenangan K/L dan
PD dalam menyusun peraturan tindak lanjut.
Jadilah formulasi
Permen PUPR 7/2019 seperti yang ada saat ini. Hanya dititipkan satu klausula
pada Pasal 3 ayat (4) bahwa Peraturan Menteri ini menjadi acuan bagi pemerintah
daerah dalam menyusun dokumen pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia.
Dengan harapan pemerintah daerah cukup menyusun dokumen pengadaan barang/jasa,
bukan peraturan kepala daerah, mengacu pada Permen PUPR 7/2019 tanpa merubah
substansi tetapi banyak dirasakan oleh pelaku usaha jasa kontruksi hal ini ada aturan
yang tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya.
Maka Kondisi tak pelak
menimbulkan diskusi yang hangat di kalangan pelaku pengadaan jasa konstruksi di
daerah. Bahkan kabarnya beberapa daerah sampai menerbitkan surat edaran yang
isinya menyatakan Permen PUPR 7/2019 bertentangan dengan kebijakan Presiden
pada Perpres 16/2018. (Lex superior derogat legi inferior) adalah asas
penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang tinggi (lex superior) mengesampingkan hukum yang rendah (lex inferior). (Asas
hierarki)
Salah satu pasal
krusial yang menimbulkan perdebatan adalah dibuatnya norma baru (New Norm) pada Permen PUPR 7/2019 pasal
21 ayat (3) huruf a bahwa Pemaketan Pekerjaan Konstruksi untuk nilai HPS sampai
dengan Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) disyaratkan hanya untuk
Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil yang mana maksud
pembuat aturan tersebut yang bermaksud
menyadangkan Paket sampai dengan 10 Miliar untuk pelaku usaha skala kecil
(UMKN).
Bahwa kebijakan
pemaketan pekerjaan konstruksi untuk nilai HPS ( harga perkiraan sendiri) sampai
dengan Rp10 miliar hanya untuk kontraktor skala kecil memang patut dicermati
karena banyak menimbulkan polemik agar tidak memunculkan implikasi lain, yang
berujung sanksi/pidana, sebagaimana diatur dalam pasal 40 UU 20/2008
Bahwa norma hukum paket pekerjaan untuk penyedia kualifikasi usaha kecil
dicadangkan paling banyak Rp 2,5 miliar.
Hal ini sesuai dengan Perpres 16/2018 dalam pasal 65 ayat(4), yang menyebutkan
paket nilai HPS paling banyak Rp 2,5 miliar dicadangkan dan diperuntukkan bagi
usaha kecil. Kecuali paket pekerjaan menuntut kompetensi teknis yang tidak
dapat dipenuhi oleh usaha kecil, jadi bukan paling banyak Rp10 Miliar.
Maka setelah Putusan MA
mengabulkan Permohonan Uji Materi (Judicial
Review) Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Aspal dan Beton Indonesia (DPP AABI) dengan No Register64 P/HUM
/2019, maka sesuai ketentuan Pasal 31 A ayat (8)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung
RI Nomor 01 Tahun 2011, maka Norma Hukum
tentang Segmentasi Pasar dalam
rentang waktu 90 hari kedepan dari mulai diterimanya salinan putusan
oleh Kementrian PUPR berubah kepada
norma hukum semula sampai ada peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan Kementrian PUPR dan
mengikat, Kementrian PUPR melalui surat
resmi Nota Dinas Sekretaris Direktorat Jendral Bina Konstruksi Kementrian PUPR
tanggal 20 Februari 2020 menyatakan, Segmentasi pasar sesuai Permen PU
No.07/PRT/M/2019 pasal 21 ayat (3) huruf a,b,c yang sudah dicabut oleh MA masih
dapat digunakan sampai dengan 90 hari kalender sejak dikirimnya putusan MA
tersebut kepada para pihak.
Merujuk Putusan MA No
64 P/HUM/2019 menyatakan Pasal 21 ayat (3) huruf a, b dan c Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2019 Tentang Standar dan
Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah serta bertentangan juga dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan dan
karenanya tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
Sebetulnya sebelum terbitnya
Putusan MA No 64 P/HUM/2019 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(LKPP-RI) pun sudah menjelaskan panjang lebar, bahwa norma paket pekerjaan
dengan nilai HPS paling banyak Rp2,5 miliar,sudah disebutkan didalam Perlem LKPP Nomor 7 Tahun 2018 pasal 24 ayat
(3) mengatur pemaketan sebanyak-banyaknya untuk usaha kecil termasuk pekerjaan
konstruksi sampai dengan Rp2,5 miliar. Hal sama juga dipaparkan Perpres 16
Tahun 2018 pasal 65 ayat (4) hanya mengatur paling banyak Rp2,5 miliar, bukan
paling sedikit Rp2,5 miliar sampai dengan paling banyak Rp10 miliar.
Maka menurut
pendapat penulis dengan sudah ada Putusan MA No 64 P/HUM/2019 tersebut agar
legalitasnya Permen PUPR No 7/2019, khususnya Pasal 20 ayat (3) huruf a,b dan c
agar tidak memunculkan polemik hukum, sangat perlu diuji materialkan ke
Mahkamah Agung agar mendapatkan
kepastian hukum, yang jadi pekerjaan rumah kementrianPUPR dan Pelaku
Usaha Jasa Kontruksi bahwa Uji Materi tersebut masih dalm proses Peninjauan
Kembali (PK) karena
permohonan PK adalah suatu permohonan kepada Putusan Pengadilan Yang
Berkekuatan Hukum Tetap (inkracht van
gewijsde) sesuai tugas dan wewenang
MA sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 (“UUD 1945”):
“MA
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang.”
Jadi, judicial review adalah mencakup pengujian
terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji
materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak
untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap
melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Maka peraturan perundang-undangan
yang diuji materi (Judicial Review)
di bawah undang-undang terhadap undang-undang setelah diputus oleh Mahkamah
Agung RI (MA ) mempunyai kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde) dan
mengikat (Bindende Kracht ) setelah
90 hari kedepan sesuai hukum acara uji materi di Mahkamah Agung (MA) .
Kami selaku penulis berpendapat
bahwa setelah Putusan MA No 64 P/HUM/2019 berlaku efektif dan mempunyai kekuatan
hukum tetap maka Mahkamah Agung perlu segera menindaklanjuti Putusan tersebut
dengan melakukan evaluasi menyeluruh terkait hukum acara persidangan, sumber
daya manusia dan sarana prasarana penunjang. Pengalaman selama ini menunjukkan
bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung belum sepenuhnya
mengadopsi prinsip-prinsip peradilan yang transparan, akuntabel, dan aksesebel.
Oleh sebab itu, ada beberapa praktik beracara pengujian peraturan
perundang-undangan di Mahkamah Agung yang masih membutuhkan perbaikan sebab
Pengujian oleh MA tidak melalui Persidangan secara Terbuka dan Proses pengujian
oleh Mahkamah Agung berbeda dengan praktik pengujian di Mahkamah Konstitusi,
ataupun persidangan perkara Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Proses pengujian oleh MA dilaksanakan secara tidak terbuka, sehingga Pemohon
tidak mengetahui secara pasti tahapan dan proses pengujian yang sedang
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tidak adanya gelar persidangan maka para pihak
juga tidak dapat memberikan argumentasi untuk memperkuat permohonan, ataupun
membantah permohonan, atau menghadirkan ahli atau saksi untuk diperdengarkan
keterangannya. Dengan tidak digelarnya persidangan secara terbuka, maka pemohon
tidak dapat memberikan argumentasi secara maksimal dan meyakinkan hakim tentang
pentingnya permohonan pengujian tersebut.
Salah satu aspek penting
yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung sebagai bagian dari kekuasaan
kehakiman adalah prinsip keterbukaan pengadilan (open court principle) sebagai salah satu prinsip utama dalam hukum
acara. Menurut Beverly McLachin, ada dua nilai inti dari prinsip keterbukaan
pengadilan.
Pertama, pengadilan yang terbuka menjamin
pemenuhan kebebasan individu dalam hal berpendapat dan untuk mengekpresikan
pikiran dan sikapnya.
Kedua, keterbukaan
mendukung akuntabilitas pengadilan. Adanya jaminan atas hak publik untuk
mengakses persidangan dan putusan pengadilan, maka publik dapat mengawasi
proses pengambilan putusan sehingga mencegah hakim dari penyalahgunaan
wewenang.
Sebagai wujud
akuntabilitas dan penerapan prinsip keterbukaan pengadilan, maka Mahkamah Agung
perlu membangun sistem dan mekanisme baru yang memungkinkan diselenggarakannya
persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang secara
terbuka dan mudah diakses oleh publik.
Dan yang yang
selanjutnya hukum acara tidak memberikan batasan waktu penyelesaian uji
Materi karena Mahkamah Agung
berkewajiban memproses permohonan pengujian peraturan perundang-undangan paling
lama 14 hari kerja sejak permohonan diterima. Akan tetapi hukum acaranya tidak
membatasi waktu penyelesaian permohonan sampai dikeluarkannya putusan.
Penentuan batas waktu menjadi penting karena putusan pada suatu aturan yang
dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya membutuhkan kepastian.
Dan yang lebih pokok
dan mendasar adalah Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan suatu ketentuan
tidak langsung berlaku sejak putusan itu dibacakan, yang mana tercermin dari
ketentuan dalam Perma yang mengatur hukum acara pengujian peraturan
perundang-undangan. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat, bahwa permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan beralasan oleh karena peraturan tersebut
dinilai bertentangan dengan undang-undang atau peraturan di atasnya, maka
Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut. Dalam putusannya, Mahkamah Agung
menyatakan peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut
sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan kepada
instansi yang bersangkutan segera mencabutnya dan dalam waktu 90 hari setelah
salinan Putusan dikirim kepada Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
peraturan perundang-undangan. Namun, dalam praktik terkadang Pejabat yang
bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Skema pelaksanaan
putusan hasil pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung tidak
menunjukkan asas kepastian, karena membutuhkan tindakan dari Pejabat lain.
Putusan pengadilan seharusnya berlaku sejak diputuskan, dan mengikat para pihak
sejak saat itu juga. Adanya jeda berlakunya Putusan Mahkamah Agung berpotensi
menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh Pejabat yang terkait, dan mengurangi
tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi peradilan.
Merujuk dari paparan penulis
tersebut diatas dapat diambil kesimpulan yaitu:
* Norma Hukum
usaha kecil s/d 10 Milyar sesuai
Permenpupr 7/2019 bertentengan
dengan Perpres 16/2018 dan tidak sesuai peningkatan
peran serta usaha kecil sebagaimana tujuan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Norma usaha kecil s/d
10 Milyar Permenpupr 7/2019 tidak
konsisten dan searah dengan kriteria kualifikasi dan subklasifikasi pelaku
usaha sesuai Permenpu 8/2011.
*Norma usaha kecil s/d
10 Milyar Permenpupr 7/2019 tidak konsisten dan searah dengan kriteria UMKM
pada UU 20/2008 dan pelaku usaha bisa terjebak
ketentuan pasal 40 UU 20/2008 tentang sanksi pidana terhadap pelaku
usaha yang melanggar ketentuan omset usaha.
Kriteria s/d diatas 2,5 Milyar suatu variable Badan Usaha kualifikasi
Kecil (K) yang berencana bermetamorfore sebagai pelaku
usaha menengah (M) yang sudah
memiliki pengalaman dari sisi risiko, teknologi dan/atau tingkat
kesulitan dan biaya tinggi , dan sudah mengerjakan paket pekerjaan diatas
2,5 milyar sesuai Permenpupr 7/2019 sebelum Putusan MA No 64 P/HUM/2019 ( Vide
Merujuk Putusan MA No 64 P/HUM/2019
masih ada kekosongan hukum (
Facum Law) perlu ada sinkronisasi
aturan Pasca Putusan MA No 64 P/HUM/2019 )
Bahwa seteleh Putusan MA No 64 P/HUM/2019 ini mempunyai hukum tetap “ in kracht van gewijsde ” setelah dibacakan, sifat mengikat
bermakna putusan MA tidak hanya berlaku bagi para pihak –pihak yang terkait
dengan Peraturan Menteri PUPR tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sebuah Opini yang
ditulis oleh : Sriyanto Ahmad adalah
Konsultan Hukum dan Mediator Ad Hoc; Ketua lembaga Perlidungan Konsumen
Trankonmasi (The Trankonmasi Consumer Financial Protection Agency) Direktur Focus learning , “5 T principle “ dan Direktur
PT Transparan Konsumen Reformasi .